Artikel ini bakal membahas tentant 5 macam ruh dalam Islam. Sejatinya, pembahasan soal ruh perspektif Islam termasuk tema nan minim kontroversi. Karena itu, membahas prinsip ruh sendiri, Nabi tak berani menjelaskannya secara gamblang ketika beliau ditanya mengenai ruh. 

{Peristiwa} ini dia nan menjadi latar belakang turunnya Al-Qur’an surah al-Isra ayat 85 sebagai berikut.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا : الإسراء: 85

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah Anda diberi pengetahuan melainkan minim”. [Al Isra: 85]

Dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, sudah sependapat bahwa ruh termasuk pengetahuan nan mana Allah memonopoli nya.

5 Macam Ruh

Namun demikian, meski sepertinya tidak hingga pembahasan prinsip ruh, ada 5 pengelompokkan nan diidentifikasi oleh Ulama berikut klasemennya sebagaimana Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi menjelaskan dalam kitabnya I’anah al-Thalibin juz 2 laman 123.

وَاعْلَمْ أَنَّ الْأَرْوَاحَ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: أَرْوَاحُ الْأَنْبِيَاءِ: وَأَرْوَاحُ الشُّهَدَاءِ وَأَرْوَاحُ الْمُطِيعِينَ، وَأَرْوَاحُ الْعُصَاةِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ، وَأَرْوَاحُ الْكُفَّارِ

“Ketahuilah bahwa ruh ada lima macam. Pertama, ruhnya para Nabi. Kedua, ruhnya para syahid. Ketiga, ruhnya para hamba nan taat. Keempat, ruhnya hamba nan membangkang. Kelima, ruhnya orang-orang kafir”.

Klasemen 5 Macam Ruh

Adapun klasemen nan diperoleh dari masing-masing ruh maka tentu dengan cara yang lain satu sama lain sebagaimana disebutkan oleh Syekh Khatib al-Syarbini dalam kitabnya, Hasyiah al-Bujairami ‘Ala al-Khatib juz 2 laman 265. 

Pertama, ruh para nabi: ruhnya mereka meninggalkan tubuhnya, menjadi seperti misk dan kapur barus, dan berada di surga, makan, sangat bersenang-senang, dan berlindung di kegelapan di lampu nan tergantung di bawah singgasana. 

Kedua, ruh orang-orang nan meninggal syahid. Ketika ruh mereka keluar dari jasadnya, Allah tempatkan mereka di dalam rongga burung-burung hijau nan beredar di sungai-sungai surga, menyantap buah-buahnya, meminum airnya, dan berlindung pada pelita-pelita emas nan tergantung di langit. Ini dia nan disebutkan Rasulullah.

Ketiga, ruhnya orang beragama nan taat: ruhnya mereka berada di taman surga, mereka sepertinya tidak makan dan sepertinya tidak sangat bersenang-senang, melainkan hanya memandang surga.

Keempat, ruh orang-orang mukmin nan durhaka: ruhnya mereka berada di antara langit dan bumi di udara.

Kelima, ruhnya orang-orang kafir: ruhnya mereka berada di dalam lubang burung hitam di penjara, dan menjadi tawanan di bawah bumi ketujuh, dan mereka terhubung dengan tubuh mereka, dengan begitu jiwa mereka tersiksa, dan tubuh itu menderita. Bagaikan matahari yang berada di langit keempat, dan cahayanya ada di bumi, sebagaimana ruh orang-orang mukmin berada di langit, diberkati dan cahayanya menyatu dengan jenazah.

Itulah penjelasan 5 pengelompokkan ruh berikut masing-masing klasemennya. Pembagian klasemen tersebut bertautan dengan ketakwaan seorang hamba nan adakalanya ada nan menjadi Nabi dan Utusannya.

Dalam kalangan Ahlussunnah waljamaah, pembahasan ruh lebih sepertinya tidak mau membahasnya dan memasrahkan kepada Tuhan. 

Definisi Mati dan Ruh dalam Berbagai Sudut Pandang

Hanya saja, pembahasan ruh tak dapat terhindarkan lantaran bertitik tolak dari pembahasan kematian nan merupakan peristiwa niscaya pada diri makhluk. Syekh Khatib al-Syarbini kemudian menjelaskan tiga arti tentang mati.

Pertama, kematian adalah terpisahnya ruh dari badannya seorang insan. Untuk saat ini arti kedua menyampaikan, kematian adalah sifat nan menjadi kebalikan dari kehidupan. Dan pengertian ketiga menjelaskan bahwa kematian adalah tiadanya kehidupan dari situasi kehidupan itu sendiri. Menurut Syekh Khatib, pengertian ketiga ini dia nan lebih bagus. (Hasyiah al-Bujairami ‘Ala al-Khatib juz 2 laman 26).

Adapun ruh, menurut kebanyakan ustadz Ahlusunnah waljaamah, adalah perihal nan tal mungkin saja diketahui hakikatnya lantaran pengetahuan itu miliki Allah semata. Hal ini juga disampaikan oleh Imam al-Junaid al-Bagdadi sebagai ajaran dalam tasawuf kalangan Ahlusunnah wal Jamaah.

كما قال الجنيد: الروح شئ استأثر الله بعلمه ولم يطلع عليه أحدا من خلقه

“Ruh adalah sesuatu nan Allah monopoli pengetahuannya juga tidak ada seorangpun makhluknya nan dapat mengetahuinya”. (Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin 2: 123).

Sedangkan kalangan Mutakallimin beranggapan bahwa ruh adalah jism (benda) nan lembut nan menyatu dengan badan sebagaimana bercampurnya air dengan kayu hijau nan tetap dan sepertinya tidak bakal fana. Kalangan Mutakallimin nan lain beranggapan sebagai sifat kehidupan nan mana dengan adanya ruh, badan dapat hidup.

Beda dengan Ahlussunnah dan mutakallimin, beda lagi dari kalangan Sufi dan Filosof nan memahami ruh bukan jisim dan sifat. Sebagaimana dikutip Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyati dalam I’anah al-Thalibin juz 2 laman 123.

وأما الصوفية والفلاسفة فليست عندهم جسما ولا عرضا، بل هو جوهر مجرد غير متحيز، يتعلق بالبدن تعلق التدبير، وليس داخلا فيه ولا خارجا عنه

“Adapun kalangan Sufi dan Filosof menyampaikan bahwa ruh bukanlah jism dan sifat melainkan suatu eksistensi nan sunyi dan samar. Ruh itu berangkaian dengan badan untuk mengendalikan. Namun ruh sepertinya tidak di dalam dan luar badan”.




Sumber:
Source link

Artikel Referensi