AS telah menyetujui switch senjata senilai $20 miliar ke Israel, meski demikian ada kekhawatiran bahwa pasukan Israel secara rutin melanggar hukum internasional di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.
Departemen Luar Negeri memperkenalkan pada hari Selasa bahwa Menteri Luar Negeri Antony Blinken telah menyetujui penjualan senjata, yang mencakup jet tempur dan rudal.
“AS berkomitmen terhadap keamanan Israel, dan sangat penting bagi kepentingan nasional Amerika Serikat untuk membantu Israel mengembangkan dan mempertahankan kemampuan pertahanan diri yang kuat dan siap,” ujar Departemen Luar Negeri.
Pesanan tersebut mencakup jet tempur F-15 buatan Boeing, Rudal Udara-ke-Udara Jarak Menengah Canggih, atau AMRAAM, amunisi tank 120 mm dan mortir berdaya ledak tinggi serta kendaraan taktis.
Beberapa senjata, termasuk lebih dari 50 jet tempur, dapat memakan waktu bertahun-tahun untuk dikirim. Peralatan lain, seperti 33.000 peluru tank dan 50.000 peluru mortir peledak, dapat secepatnya tiba.
Amerika Serikat menyampaikan bahwa peluru tank tersebut “akan meningkatkan kemampuan Israel untuk menghadapi ancaman musuh sementara dan di masa yang akan datang, memperkuat pertahanan dalam negerinya dan berfungsi sebagai pencegah terhadap ancaman regional”.
Pengumuman itu muncul saat Israel memperkirakan adanya pembalasan dari Iran dan Hizbullah yang berpusat di Lebanon menyusul pembunuhan pejabat tinggi Hamas dan Hizbullah, yang telah memunculkan kekhawatiran atas kemungkinan terjadinya perang regional.
Amerika Serikat menyampaikan pihaknya berupaya menghindari eskalasi semacam itu.
Presiden Joe Biden pada hari Selasa menyampaikan respons Iran mungkin saja bisa dihindari andai perjanjian gencatan senjata dicapai untuk menghentikan perang di Gaza di mana pasukan Israel telah menewaskan hampir 40.000 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, menghancurkan seluruh lingkungan dan memblokir pengiriman bantuan kemanusiaan.
Para kritikus telah meminta pemerintahan Biden untuk memberhentikan switch senjata ke Israel, dengan tuduhan bahwa hal itu membuat Amerika Serikat terlibat dalam penghancuran Gaza.
Mereka juga mencatat bahwa pasokan senjata merupakan sumber pengaruh yang potensial, namun pemerintah menolak untuk memanfaatkannya guna mengamankan gencatan senjata.
Laporan bahwa pasukan Israel secara sistematis melanggar hukum internasional dan melakukan pelanggaran seperti penyiksaan juga gagal memberhentikan aliran senjata, meski demikian ada persyaratan berdasarkan hukum Amerika Serikat bahwa unit militer yang secara kredibel dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat harus segera diputus dukungannya.
Berbicara di hadapan pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dilaksanakan pada hari Selasa untuk membahas serangan udara mematikan pada akhir pekan lalu terhadap sebuah sekolah yang diubah menjadi tempat perlindungan di Gaza, duta besar Amerika Serikat Linda Thomas-Greenfield menyampaikan tujuan negaranya di kawasan itu adalah untuk “menurunkan suhu”.
“Itu berawal dengan memberhentikan kesepakatan untuk gencatan senjata secepatnya dengan pembebasan sandera di Gaza. Kita harus segera memberhentikan ini,” ungkapnya.
'Menuangkan bensin ke api'
Tarek Khalil, seorang aktivis hak asasi manusia Palestina, menyampaikan kepada Al Jazeera bahwa Amerika Serikat mempunyai kekuatan untuk memaksa Israel menandatangani kesepakatan gencatan senjata di Gaza dengan menahan senjata.
Sebaliknya, Amerika Serikat “menuangkan bensin ke dalam api yang bisa membakar jutaan orang di seluruh kawasan,” ujar Edward Ahmed Mitchell, wakil direktur Council on American-Islamic Family members (CAIR), dalam sebuah pernyataan.
“Pemerintah Israel yang semakin sepertinya tidak terkendali telah memperlihatkan berkali-kali bahwa mereka sepertinya tidak hanya berniat untuk melanjutkan genosida brutal terhadap rakyat Palestina di Gaza, namun juga untuk memprovokasi perang regional yang lebih luas,” ungkapnya.
“Sudah saatnya pemerintahan Biden menyadari kenyataan: pemerintah Israel bukanlah aktor yang rasional, bukan sekutu, dan berusaha menyeret negara kita ke dalam perang habis-habisan.”
Josh Paul, yang mengundurkan diri dari Departemen Luar Negeri tahun lalu sebagai protes atas kebijakan di Gaza, menyampaikan Israel sepertinya tidak memberikan alasan kepada Amerika Serikat untuk yakin bahwa Israel akan menjauh dari “kebrutalan yang keji”.
“Mengizinkan switch senjata baru senilai miliaran dolar secara efektif memberi Israel kekuasaan penuh untuk melanjutkan kekejamannya di Gaza dan meningkatkan konflik ke Lebanon,” ujar Paul, yang sekarang bekerja di kelompok hak asasi Timur Tengah Crack of dawn.
Sumber: aljazeera.com