– Artikel berikut ini bakal membahas tentang makna moderasi beragama. Andai ditelisik, pada kenyataannya tutur moderasi berasal dari bahasa latin “Moderatio” berfaedah ke-sedang-an, sepertinya tidak berlebihan dan sedikit kekurangan.

Sementara waktu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) moderasi mengandung makna “pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstriman”. Itu sebabnya, seseorang disebutkan moderat andai bersikap wajar, biasa-biasa saja dan sepertinya tidak ekstrim dan berada di tengah-tengah.

Dengan cara yang lain dalam bahasa Arab. Moderasi dikenal dengan tutur “wasath” alias “wasathiyah” nan berpadanan makna dengan tutur “tawassuth”. Sebab itu orang nan moderat disebut dengan “wasith”. Dalam bahasa Indonesia tutur “wasith” memiliki tiga pengertian, ialah “penengah”, “pelerai” dan “pemimpin”. Seorang disebutkan moderat andai bersikap selaku penengah, pelerai dan pemimpin dalam hidup bersama.

Antonim dari wasath adalah “tatharruf” yang dalam bahasa Inggris setara dengan “excessive”, “radical” dan “over the top”, di mana dalam KBBI ekstrim didefinisikan sebagai paling ujung, paling tinggi dan paling keras. Dalam konteks kepercayaan dan hidup keagamaan, pengertian tutur ekstrim merujuk pada orang nan bersikap melebih-lebihkan praksis kehidupan berakidah nan melampaui pemisah dan ketentuan norma (syariat) agama.

Kita tahu, kepercayaan berasal dari bahasa Sansekerta ialah dari “a” berfaedah “sepertinya tidak” dan “gama” berfaedah “kacau”. Maka, kepercayaan berfaedah tradisi alias langkah hidup nan sepertinya tidak kacau. Istilah lain nan memiliki makna nan identik adalah “religi”, berasal dari bahasa latin “religio” berakar pada tutur kerja “re-ligare” berfaedah mengikat kembali. Jadi kepercayaan berfaedah ber-religi, dimana seseorang mengikat kembali dirinya kepada Allah menurut tradisi alias langkah hidup nan teratur alias sepertinya tidak kacau.

Syahdan. Bertolak  dari makna etimologi moderasi dan kepercayaan di atas moderasi berakidah bisa diartikan sebagai langkah pandang, sikap dan perilaku nan selalu mengambil posisi di tengah-tengah ialah langkah hidup bertindak setara dan sepertinya tidak ekstrim kiri alias ekstrim kanan.

Moderasi berakidah dimengerti sebagai sikap berimbang antara pengamalan aliran kepercayaan sendiri (eksklusif) dengan penghormatan kepada praktik berakidah orang lain (inklusif) nan dengan cara yang berbeda keyakinan.

Tak hanya itu, makna moderasi berakidah adalah langkah hidup keagamaan nan moderat dalam pemikiran keagamaan, aktivitas keagamaan, tradisi dan praktik keagamaan menurut tradisi dan aliran keagamaan.

Dengan tutur lain, bahwa berakidah secara moderat adalah langkah hidup umat berakidah nan lebih memprioritaskan jalan tengah, alias bersikap seimbang antara: logika dan wahyu, jasmani dan rohani, kepentingan perseorangan dan kemaslahatan komunal, antara pendapat very best dan realita nan kontekstual.

Seorang nan berakidah secara moderat selalu mengandalkan Tuhan dan sepertinya tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan sudah mati! (tuhan adalah kuasa, uang, kesenangan dan ketenaran diri). Moderasi berakidah juga berfaedah bersikap mencintai semua kepercayaan Allah namun tetap saling mencinta terhadap kepercayaan sendiri. Dalam al-Qur’an dinyatakan:

لَـكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun [109]: 6).

Beragama secara moderat bertumbuh dari ketaatan nan mendalam untuk menghargai sesuatu nan dengan cara yang berbeda menurut tradisi dan praktik keagamaan masing-masing. Orang berakidah adalah orang nan selalu mengikatkan diri kepada Allah dengan begitu selalu bersikap toleran, memprioritaskan damai, persatuan dan solidaritas dalam hidup bersama.

Dalam perihal ini, dipercayai bahwa Allah datang dalam beragam suku, budaya budaya dan ekspresi kepercayaan lain, alias perbedaan ajaran dan aliran di dalam satu agama. Pemikiran inklusif bukan berfaedah bebas alias sepertinya tidak berpendirian, tetapi lebih pada langkah hidup menerima realita bahwa telah ada kebenaran lain nan diyakini oleh organisasi kepercayaan tertentu.

Seorang nan moderat melaksanakan tanggungjawab agamanya sepertinya tidak boleh bertentangan dengan norma alias peraturan pemerintah nan melindungi kepentingan publik. Akibat, semua kepercayaan adalah kepercayaan Allah (yang berasal dari wahyu Allah, berpusat pada Allah) mengajarkan penghargaan terhadap kepentingan bersama.

Tiga pilar prinsip moderasi beragama

Prinsip-prinsip moderasi berakidah selalu menjaga keadilan dan keseimbangan berelasi dalam hidup sosial. Selalu menjaga keadilan berfaedah langkah hidup memberikan apa nan menjadi kewenangan orang lain. Maka, bersikap moderat selalu dalam makna memiliki sikap hati nan menjamin kenyamanan bagi orang lain untuk beragama menurut kepercayaan dan kepercayaan.

Lebih dari itu, selalu menjaga keseimbangan berfaedah sepertinya tidak boleh bersikap melebih-lebihkan alias ekstrim kanan (terlalu menekankan kebebasan nan liberal dalam beragama), sekaligus sepertinya tidak boleh ekstrim kiri (terlalu ekstrem dan radikal dalam beragama, serta sepertinya tidak boleh terlalu menekankan makna tekstual tanpa menghubungkan dengan konteks nan sedang dihidupi).

Prof. Quraish Shihab menyampaikan, bahwa penerapan prinsip moderasi berakidah memiliki tiga pilar penting: pilar keadilan, pilar keseimbangan dan pilar toleransi. Pilar keadilan merujuk pada persamaan kewenangan dan kewajiban, sepertinya tidak boleh memakai “standar ganda”, sepertinya tidak mengurangi dan sepertinya tidak juga melebih-lebihkan.

Pilar keseimbangan berfaedah langkah hidup nan memprioritaskan aspek penyesuaian dengan peruntukan. Misalkan saja, jalan raya alias pasar sepertinya tidak boleh dipakai umat untuk beribadah. Keseimbangan terkadang sepertinya tidak kudu menuntut persamaan namun menghargai dan memperkaya perbedaan. Pilar toleransi adalah langkah hidup toleran ialah membiarkan orang beragama menurut keyakinannya.

Lalu apa parameter pencapaian moderasi beragama? Adalah langkah hidup nan selalu membuka diri (inklusif), melebur, terserap, beradaptasi dengan beragam organisasi kepercayaan menurut kesepakatan demi keadaban bersama. Indikator ini dipertegas dalam corak komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Komitmen kebangsaan berfaedah ketaatan dan kesetiaan kepada NKRI, Pancasila dan UUD 1945 sebagai bentuk pengamalan aliran kepercayaan alias ungkapan iman.

Toleransi adalah sikap memberi ruang secara aktif dan sepertinya tidak mengganggu kewenangan orang lain dalam menjalankan kepercayaan meski demikian kepercayaan tersebut dengan cara yang berbeda. Orang moderat berakidah selalu bersikap lapang dada menerima setiap perbedaan. Anti-kekerasan alias bersikap sepertinya tidak ekstrem sekaligus sepertinya tidak radikal sempit.

Bahkan, orang moderat alim terhadap norma sebagai panglima tertinggi negara dan menghormati mekanismenya. Akomodatif terhadap budaya lokal: bersikap ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal. Orang nan moderat berakidah menghormati kemajemukan menurut tradisi dan aliran agamanya agar ketaatan semakin bertumbuh. Iman adalah karunia Allah nan berkarakter pribadi sekaligus komunal. Ia justru lebih berakar dalam kebudayaan.

Catatan akhir

Hal lain nan krusial untuk disampaikan adalah, bahwa moderasi berakidah merupakan langkah berakidah nan lebih menekankan nilai-nilai common (nilai kemanusian nan setara dan beradab) untuk diterapkan dalam hidup bersama. Itu berarti, moderasi berakidah lebih mendorong para penganutnya untuk membangun jembatan kasih daripada membangun tembok perselisihan satu dengan nan lain.

“Barang siapa membangun tembok maka dia sendiri bakal terkurung dalam tembok itu. Barang siapa membangun jembatan, bakal membuka jalan untuk sebuah bolak-balik panjang, nan bermuara pada komitmen untuk menjadi Pelopor Moderasi Beragama.”

Demikian tutur Paus Fransiskus I dalam kesempatan penandatanganan Dokumen Abu Dhabi antara Sri Paus Fransiskus I dan Imam besar al-Azhar, Ahmed al-Tayyed pada tahun 2019.

Tak berakhir di sini, dalam suatu kesempatan, Mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, di hadapan para kepala SMAK se Indonesia pada bulan November tahun 2019 bertempat di Resort Merlyn Park Jakarta pusat menegaskan bahwa, Bangsa Indonesia adalah Bangsa nan majemuk nan memiliki beragam kepercayaan dan kebudayaan.

Tentu saja, perihal ini menjadi kekayaan alamiah, nan memungkinkan seseorang untuk saling menghargai dan saling melengkapi satu terhadap nan lainnya. Moderasi berakidah bisa menjadi tutur kunci dalam membangun kebersamaan hidup dalam perjalanan pluralisme kehidupan. Ia sepertinya tidak hanya sekedar tanggungjawab dijalankan, melainkan lebih pada kebutuhan untuk diimplementasikan dalam hidup berakidah nan lebih baik.

Moderasi berakidah kudu dimengerti sebagai komitmen berbareng di dalam menjaga keseimbangan nan hakiki, di mana setiap penduduk masyarakat nan beraneka ragam agama, suku, etnis dan budaya kudu saling menghargai, mendengarkan dan juga saling belajar guna meminimalisir perbedaan untuk menciptakan bonum commune.

Lebih lanjut, Lukman Hakim Saifuddin juga menegaskan bahwa kemajemukan kepercayaan di Indonesia secara de facto tak boleh dipaksakan menjadi sesuatu nan uniform, melainkan kudu dipelihara dan ditumbuhkembangkan dalam hidup berbangsa dan bernegara nan demokratis.

Kenapa demikian? Sebab kehadiran agama-agama di Indonesia bisa meneguhkan ketaatan para penganutnya agar saling membelajarkan nilai-nilai positif keagamaannya. Mencapai bagaimanapun juga tumbuhlah sikap militansi keimanannya di dalam membangun kebersamaan hidup.

Demikian penjelasan tentang makna moderasi beragama, nan juga sudah menjadi program pemerintah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab.




Sumber:
Source link

Artikel Referensi