– Dalam tulisan ini, saya mau memberikan catatan terhadap tulisan Lora Kholili Kholil mengenai syuhrah wal istifadhah nasab Bā ‘Alawi. Saya untuk membuat pilihan istilah catatan, bukan kritik agar terkesan bahwa saya sepertinya tidak menolak semua sanggahan Lora Kholili atas Lora Ismael Kholili.

Pertama, beberapa orang saksikah standar suatu nasab disebutkan syuhrah wal istifadhah? Sebelumnya Lora Kholili mengutipkan arti syuhrah wal istifādhah dari al-Mausū‘ah al-Fiqh al-Islāmī demikian:

وحد الشهرة والاستفاضة انتشار الأمر وظهوره حتى لا ينكر

Bila merujuk arti ini, sepertinya tidak ada batas beberapa orang nan kudu menjadi saksi atas nasab seseorang dengan begitu disebutkan syuhrah wal istifādhah. Tapi alternatifnya, Lora Kholili mengutip pendapat al-Syillī (w. 1093 H/1682 M) mengenai adanya orang nan meragukan nasab Bā ‘Alawī.

Jadi Lora Kholili seolah-olah mau menggiring pembaca, “Ini loh di abad 11 H/17 M aja tetap ada nan meragukan nasab Bā ‘Alawī.”

Nah, mengenai syuhrah wal istifādhah ini, saya mau mengutipkan rujukan tentang perihal tersebut dari kitab nasab langsung. Nama kitabnya al-Kāfī al-Muntakhab fī ‘Ilm al-Nasab karya ‘Abd al-Raḥmān bin Mājid al-Rifā‘ī. Ia memaparkan banyak sekali arti mengenai syuhrah wal istifādhah sebuah nasab.

Adakah syarat minimum saksi atas nasab seseorang mencapai disebutkan syuhrah wal istifadhah? Ujar ‘Abd al-Raḥmān al-Rifā‘ī (h. 56):

إنها تقبل من جمع يؤمن تواطؤهم على الكذب ويؤمن مخالفتهم من عدد معتبر مثلهم، وهناك من جعل حدها الأدنى رجلين. قال المرداوي: “ولا تقبل الاستفاضة إلا من عدد يقع العلم بخبرهم، في ظاهر كلام أحمد والخرقي. وقال القاضى تسمع من عدلين فصاعدا”.

Syurah wal istifādhah itu diterima dari sekelompok orang nan sepertinya tidak mungkin saja bermufakat untuk mendusta dan sepertinya tidak mungkin saja diselisihi oleh sekolompok orang nan jumlahnya sebanding (dengan nan mengisbat). Terdapat pendapat nan menjadikan syarat minimum syuhrah wal istifādhah adalah dua orang lelaki. Al-Mardāwī berpendapat, “al-istifādhah itu sepertinya tidak bisa diterima selain dari sekelompok orang nan derajat data mereka mencapai taraf yakin (al-‘ilm). Qādhī (Abu Ya‘lā) berpendapat, “al-istifādhah itu bisa didengar dari dua orang setara alias lebih.”

وقيل تقبل أيضا ممن تسكن النفس إليه، ولوكان واحدا اختاره المجد وحفيده، وهنا خلاف فالبعض لم يقبل شهادة الواحد على السماع

Menurut pendapat lain, al-istifādhah itu juga dapat didapat dari orang nan hatinya condong pada perihal tersebut padahal hanya satu orang. Pendapat ini adalah pilihan Majdudīn Abū al-Barākāt dan cucunya (Ibn Taimiyyah). Di sini terjadi khilaf. Sebagian ustadz sepertinya tidak menerima persaksian satu orang dengan langkah mendengar.

وقيل يكفي رجلان عدلان، أو رجل وامرأتان وهو قول الخصاف من الحنفية والقاضى من الحنابلة وبعض الشافعية

Menurut pendapat lain, cukup (persaksian) dua orang laki-laki setara alias satu laki-laki dan dua perempuan. Ini dia pendapat (Abu Bakar) al-Khashshāf dari ajaran Hanafi, Qādhī (Abu Ya‘lā) dari ajaran Hanbali dan sebagian Syafiiyyah.

Bila kita baca arti di atas, terjadi keragaman arti dari para ustadz fikih mengenai standar syuhrah wal istifādhah mengenai nasab seseorang. Ada nan cukup satu, ada nan mensyaratkan dua orang, ada juga nan mensyaratkan lebih.

Kedua, sejak kapan nasab Bā ‘Alawī tercatat sudah syuhrah wal istifādhah?

Sekalipun al-Shillī, seperti dikatakan Lora Kholili, menginformasikan tetap ada nan meragukan nasab Bā ‘Alawī pada abad ke-11 H/17 M, tapi jauh sebelum itu al-Janadī (w. 732 H/1331 M) dalam al-Sulūk fī Thabaqāt al-‘Ulamā wal Mulūk dan al-Khazraji dalam al-‘Iqd al-Fākhir atau Thirāz al-Zaman (w. 812 H/1409 M).

Saya coba baca berulang kali dua kitab tersebut, saya memiliki konklusi bahwa telah ada pembedaan dari para sejarawan Yaman untuk nisbat ‘Alawī dan Bā ‘Alawī. Andai para sejarawan itu menyebutkan Bā ‘Alawī, maka nan dimaksud adalah klan circle of relatives Nabi nan bernasab pada Alawī bin ‘Abd Allāh bin Ahmad nan tinggal di Hadramaut. Tapi, andai nan disebut al-‘Alawī ini dapat keturunan Nabi, dapat bukan.

Contoh nan bernisbat al-‘Alawī di Yaman, tapi bukan keturunan Nabi adalah Abu Isḥāq Ibrahim bin ‘Umar bin ‘Alī bin ‘Umar bin Muhammad bin Abi Bakar al-‘Alawi dan Abu Hafsh Umar bin Ali al-‘Alawi (w. 650).

Genealogi keduanya bersambung pada Ali bin Rasyid ibn Bulan bin Saharah bin Ghalib bin Abdullah bin ‘Akk dari kabilah ‘Akk di Tihāmah Yaman.   

Al-Khazraji (juz 3, hlm 1486-1488) sendiri saat mereportase nama-nama orang nan nasabnya tetap bersambung kepada Rasulullah dan masyhur itu dicatat secara lengkap. Di antara contohnya adalah nasab Abu al-Ḥasan ‘Alī bin Jadīd. Saat menjelaskan sosok ini, dia mengaitkannya dengan Bā ‘Alawī.  

Jadi, nasab Bā ‘Alawī sudah tercatat syuhrah wal istifādhah sejak abad ke-8 H/14 M. Al-Syāthirī dalam al-Mu‘jam al-Lathīf (h. 41) malah menyebutkan bahwa klan ini baru masyhur setelah abad ke-8 H.

وأعلام القبائل العلوية سواء كانت بالأسماء أوبالألقاب أو بالكنى لم تشتهر ولم تنتشر إلا بعد تكاثرها وذلك بعد القرن الثامن الهجري لأنهم لم ينتشروا إلا فيما بعد.

Nama-nama kabilah ‘Alawī (Bā ‘Alawī), baik nama correct title, lakab, ataupun kunyah itu belum masyhur dan tersebar selain setelah menjadi banyak sekali. Hal ini terjadi setelah abad ke-8 H lantaran mereka belum menyebar selain setelah abad itu.

Jadi, marga-marga Bā ‘Alawi, seperti al-Muḥdhār, al-Saqqāf (Assegaf), dan lainnya itu memang dikenal belakangan.




Sumber:
Source link

Artikel Referensi