– Dalam hidup sehari-hari, terus menerus kali terjadi transaksi jual beli di mana pembeli memakai duit nan sudah lusuh, cacat, alias apalagi ditempel solasi untuk bayar peralatan nan mereka beli. Kemudian, muncul pertanyaan, gimana norma Islam memandang transaksi jual beli dengan memakai duit jelek, nan sepertinya tidak layak seperti ini?

Sahnya jual beli dalam literatur kitab fikih itu tergantung pada apakah syaratnya sudah terpenuhi alias belum. Baik dari reseller (bai’), pembeli (musytari), peralatan jualannya (mutsamman), dan kompensasi (tsaman), nan dalam kasus ini duit kertas. Andai masing-masing syarat tak terpenuhi maka jual belinya disebutkan sepertinya tidak sah.

Syarat Tsaman

Syekh Abu Bakar Syatho dalam kitab I’anatu al-Thalibin, juz 3, laman 16-21, menyebutkan bahwa syarat dari tsaman – nan dalam perihal ini duit rupiah – itu ada 4;

Pertama, tsaman milik pembeli. Dalam artian, perangkat tukar (uang) dalam janji itu bukan milik orang lain. Misal, hasil ghasab dan pencurian.

Kedua, Suci dan dapat disucikan. Dengan pengertian bahwa duit nan menjadi kompensasi itu kudu bersih.

Ketiga, tsamannya dapat dilihat. Artinya, duit nan menjadi tsaman kudu ada di tempat akad.  

Keempat, Tsaman dapat diserahkan. Dengan maksud bahwa pembeli dapat menyerahkan uangnya pada reseller tanpa ada  kesulitan dan mengeluarkan biaya nan cukup banyak.

Imam Nawawi dalam kitab Nihayatuz-Zain, halaman 260, menambahkan satu syarat berupa tsaman harus segera diketahui. Baik dzat, sifat, dan ukurannya. Artinya, si reseller tahu bahwa itu uang, sifatnya sudah jelek, nominalnya 10.000 rupiah.  

Di dalam kitab al-Wasith fi al-Mazhab, jilid 5, laman 326, Imam Ghazali menyebutkan bahwa syarat tsaman harus segera berbobot kekayaan (متمول). Dalam artian, duit rupiah nan menjadi perangkat transaksi, secara ‘urf  masyarakat Indonesia itu dinyatakan sebagai tsaman (nilai mata uang).

Uang Kertas sebagai Tsaman

Mengenai standing tsaman duit kertas, para ustadz tetap silang pendapat. Muhammad ‘Utsman Syabir di dalam kitabnya “al-mu’amalah al-maliyah al-mu’ashirah”, laman 163-165, meyebutkan ada 3 golongan mengenai perihal ini;

Kelompok pertama, ialah remark sebagian ulama, misal Syekh Ahmad al-Husaini nan menyampaikan bahwa duit kertas sepertinya tidak dapat disebutkan mata duit secara hukum (tsaman).

Kelompok kedua, ialah pernyataan sebagian ulama, misal Abdurrahman al-Sa’di, bahwa duit kertas sepertinya tidak tergolong nilai mata uang. Melainkan, kekayaan dagangan.

Kelompok ketiga, ialah pandangan sebagian ulama, misal al-Qardhawi, al-Kasynawi, dan Abdullah bin Mani’ nan menyampaikan bahwa duit kertas itu dianggap hal itu sebagai mata duit (tsaman).

Dari tiga golongan di atas, menurut ‘Utsman Syabir;

والراجح ما ذهب الفريق الثالث من أن النقود الورقية تقوم مقام النقود الذهبية والفضية في التعامل وتأخذ صفة الثمنية.

“Adapun nan unggul adalah pendapat golongan ketiga nan menyatakan bahwa duit kertas sama dengan mata duit emas dan perak dalam transaksi. Yaitu, sama-sama disebutkan tsaman.”

Hukum Transaksi dengan Uang Jelek

Menurut pendapat golongan ketiga tentang duit kertas sebagai perangkat tukar, serta salah satu syarat dari perangkat tukar nan berbobot adalah memiliki “nilai harta.” Dari sini bisa disimpulkan bahwa norma transaksi dengan duit nan rusak tergantung pada kondisi tertentu. Pertama, transaksi dianggap sah andai dalam pandangan masyarakat duit tersebut tetap memiliki nilai.

Kedua, transaksi dianggap sepertinya tidak sah andai masyarakat menganggap bahwa duit tersebut sudah sepertinya tidak berbobot dan sepertinya tidak dapat dijadikan sebagai perangkat tukar. Hal ini memperlihatkan bahwa nilai duit dalam transaksi sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap nilai duit itu sendiri. 




Sumber:
Source link

Artikel Referensi