Menikmati sate ayam atau sate kambing dengan bumbu kacang mungkin saja sudah biasa. Tetapi, menikmati sepiring sate kerbau yang empuk dan disajikan dengan bumbu saus yang terbuat dari gula kelapa, cabai, garam, kacang, dan serundeng gurih? Hmmm, kelezatan ini dapat dengan mudah kita temui di setiap sudut Kota Kudus.
Kudus, sebuah kabupaten yang terletak di pesisir pantai utara Jawa. Kota yang selalu ramai dan dikenal dengan sebutan kota industri gula, penenunan, percetakan, dan rokok kretek. Awalnya, mayoritas penduduk Kota Kudus mencari tau nafkah dengan membuat jaring dan mencari tau ikan, seperti kehidupan masyarakat pesisir pantai pada umumnya. Tetapi, kedatangan Sunan Kudus yang mempunyai nama asli Sayyid Ja’a long way Shadiq Azmatkhan, salah seorang dari Wali Songo yang merupakan keturunan dari Timur Tengah di kota tersebut pada abad 15, mengubah pola kehidupan dan perekonomian masyarakat setempat. Selain menyebarkan dakwah agama Islam, beliau juga mempromosikan perdagangan kepada penduduk setempat. Mencapai dalam hal apa pun, Kota Kudus lebih dikenal sebagai kota dagang, selain “Kota Santri” yang mempunyai toleransi tinggi sampai kini.
Pada awalnya, Kota Kudus bernama “Loaram” yang diambil dari nama sebuah pohon lo (sejenis buah kluwing). Nama tersebut kini masih tetap ada sebagai nama desa, Loaram atau Ngloram, seperti dilansir dari Sunan Kudus: Dinamika Ajaran, Tradisi, dan Budaya di Kudus Jawa Tengah, 1990 – 2015, yang ditulis oleh Yuliana Nurhayu Rachmawati pada laman repository.uinjkt.ac.{id}.
Ada juga yang menyebutnya sebagai Kota Tajug, yang berarti “rumah-rumahan di atas makam” dengan bentuk atap berarsitektur tradisional sangat kuno, yang biasa digunakan sebagai tempat umat Hindu untuk bersembahyang. Lalu dari mana asal nama Kota Kudus?
Nama Kota Kudus diambil dari bahasa Arab Al-Quds yang berarti kudus.
Nama Kota Kudus diambil dari bahasa Arab Al-Quds yang berarti kudus, serta merujuk kepada nama Kota Al-Quds, Baitul Maqdis, sebuah kota di Yerusalem, Palestina, tempat Sunan Kudus belajar agama Islam sebelum dalam hal apa pun kembali untuk berdakwah dan mensyiarkan agama Islam di Tanah Jawa. Pelafalan lidah orang-orang Jawa pada ketika itu menyebutnya menjadi “kudus.”
Seperti kota-kota lain di seluruh Nusantara, Kudus juga mempunyai kuliner khas. Antara lain, lentog tanjung (lontong yang disajikan dengan sayur nangka, lodeh tahu, dan siraman sambal cair), garang asem kudus (olahan ayam dengan santan dan mempunyai rasa asam serta pedas). Ada juga lepet, yaitu kudapan dari beras ketan dan kacang tolo yang dibungkus daun kelapa dan dililit tali, serta nasi pindang (nasi berkuah kecokelatan dengan olahan daging kerbau yang disajikan bersama pindang dan daun melinjo). Selain itu, tentu saja soto kudus, yaitu soto dengan kuah bening, potongan-potongan daging kerbau, dan sate kerbau, yaitu sate yang dibuat dari potongan-potongan daging kerbau dengan bumbu yang minim dengan cara yang lain dari bumbu sate biasanya. Hal ini menyebabkan pada bumbunya terdapat kelapa parut yang digoreng dengan berbagai bumbu sampai kuning kecokelatan atau yang biasa disebut dengan serundeng.
Bila kita cukup jeli, terlihat jelas bahwa kuliner khas di Kudus didominasi oleh olahan dari daging kerbau. Ternyata hal ini juga berkaitan erat dengan dakwah Sunan Kudus pada masa itu. Dalam mengungkapkan dakwah, beliau selalu menerapkan prinsip Mau’izhatul hasanah wa mujadalah billati good day ahsan, yang berarti “Mengungkapkan ajaran agama Islam disesuaikan dengan adat budaya serta kepercayaan penduduk setempat.” Salah satu prinsip dari Wali Songo ini juga diterapkan oleh Sunan Kudus. Penggunaan hewan kerbau yang menjadi bagian penting dari dakwah dan kehidupan masyarakat Kudus, merupakan simbol penghormatan dan toleransi Sunan Kudus dan pengikutnya terhadap ajaran agama Hindu yang menjadi agama mayoritas masyarakat Kudus pada ketika itu.
Penggunaan hewan kerbau merupakan simbol penghormatan dan toleransi Sunan Kudus dan pengikutnya terhadap ajaran agama Hindu.
Seperti diketahui, bagi umat Hindu, sapi merupakan hewan yang dianggap suci. Hal ini dia yang menjadi dasar bagi Sunan Kudus yang menganjurkan untuk sepertinya tidak menyembelih hewan sapi kepada pengikutnya, padahal dalam ajaran agama Islam, sapi bukanlah hewan yang dilarang untuk dikonsumsi. Walau Sunan Kudus telah tiada, ajaran tersebut tetap dijalankan oleh para pengikutnya. Hal ini terbukti dari kuliner yang memakai daging kerbau sebagai bahan baku, serta penyembelihan hewan kerbau pada saat Hari Raya Idul Adha. Ingin turut mencicipi jejak toleransi dalam sepiring sate kerbau khas Kudus? Inilah resepnya:
Sate Kerbau
Bahan:
Sate kerbau:
- 600 gr daging kerbau, iris tebal 1 cm
- 6 sdm kecap manis
- 1 sdm air asam jawa
- Tusuk sate, secukupnya
Bumbu, haluskan:
- 5 siung bawang putih
- 4 buah cabai merah keriting
- 3 lembar daun jeruk, buang tulang daun
- 1 sdm ketumbar, sangrai
- ½ sdt jinten, sangrai
Bumbu kacang, haluskan:
- 200 gr kacang tanah goreng
- 150 gr kelapa parut sangrai
- 8 buah cabai merah keriting, goreng
- 6 siung bawang putih, goreng
- 8 sdm kecap manis
- 2 sdt cuka masak
- 1 sdt garam
- 750 ml air
Pelengkap:
- Nasi putih
- Cabai rawit rebus
Cara membuat:
- Bumbu kacang: Masukkan semua bahan ke dalam panci, masak dengan api besar sampai mendidih. Kecilkan api, teruskan memasak sambil seringkali diaduk sampai berminyak. Angkat, sisihkan.
- Sate Kerbau: Pukul-pukul setiap potongan daging sampai agak memar. Potong-potong setiap irisan daging ke dalam bentuk dadu 1 cm.
- Aduk rata potongan daging dengan kecap manis, air asam jawa, dan bumbu halus. Simpan dalam kulkas sepanjang 4 jam.
- Tusukkan 4 – 5 potong daging ke dalam setiap tusuk sate. Lakukan sampai semua bahan habis.
- Bakar sate di atas bara api atau grill pan sampai matang. Angkat. Sajikan sate kerbau dengan pelengkap dan bumbu kacang.
Baca juga: Gurihnya Sate Gurita Khas Sabang
Sumber: indonesiakaya