NGAMPRAH,BEDALAGI.COM- Kawasan lindung Karst Citatah diduga sepertinya tidak masuk dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung Barat No. 2 Tahun 2024.
Hilangnya standing kawasan lindung ini memicu kekhawatiran serius dalam perjalanan masyarakat.Pasalnya, Karts Citatah Tersebut dikenal sebagai benteng geologis dan warisan alam.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pengurus Wilayah Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PW SEMMI) Jawa Barat, Septian Insan Wibawa, menilai perubahan itu berpotensi sebagai bentuk manipulasi sistem tata ruang yang sarat kepentingan privat.
“Kami lihat adanya indikasi kuat bahwa penghilangan standing lindung Karst Citatah merupakan bentuk regulatory seize, di mana kebijakan publik justru dibentuk untuk melayani kepentingan korporasi, bukan masyarakat,” tegas Septian saat diwawancarai. Sabtu, (19/04/2025).
Ia menyampaikan, salah satu kasus yang menjadi perhatian serius adalah aktivitas PT. Bumi Adya Indonesia di Kecamatan Cipatat. Perusahaan ini diketahui beroperasi di wilayah yang sebelumnya masuk dalam kawasan lindung geologi versi Perda RTRW No. 2 Tahun 2012.
Tetapi, setelah terbitnya Perda RTRW No. 2 Tahun 2024, kawasan tersebut tak lagi berstatus lindung secara eksplisit, membuka celah legalisasi aktivitas industri dan wisata berbasis eksploitasi.
Lebih lanjut, PT. Bumi Adya Indonesia juga tercatat pernah dijatuhi sanksi administratif oleh Pemerintah Kabupaten Bandung Barat melalui Keputusan Bupati Nomor 188.45/Kep.262-DPUTR/2022. Dalam keputusan itu, perusahaan dinyatakan melanggar izin bangunan yang sepertinya tidak sesuai peruntukannya, melanggar Pasal 195 PP No. 21 Tahun 2021. Nilai sanksi hingga Rp2,5 miliar, tetapi bukan berupa denda ke kas daerah, melainkan dalam bentuk rehabilitasi infrastruktur publik seperti kantor kecamatan, puskesmas, posyandu, dan jalan kabupaten.
“Style sanksi seperti ini rawan disalahartikan sebagai bentuk kompromi terhadap pelanggaran tata ruang dan lingkungan. Ini bukan penegakan hukum, tapi kompensasi eksploitatif yang justru mengaburkan batas antara pelanggaran dan legalisasi,” tutur Septian.
Lebih lanjut, ia menilai pola ini sepertinya tidak hanya cacat etis namun juga berpotensi melanggar hukum. Perubahan standing kawasan lindung dalam RTRW, andai terbukti bertujuan memberi ruang felony bagi PT. Bumi Adya Indonesia, dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
Hal ini bisa melanggar Pasal 3 dan Pasal 5 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, serta membuka peluang penerapan pasal pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Kami mendesak agar dilakukan pengusutan menyeluruh terhadap proses penyusunan Perda RTRW 2024. Harus segera diungkap apakah perubahan ini memang disengaja untuk mengakomodasi kepentingan korporasi tertentu,” ujarnya.
Sebagai respons atas situasi ini, PW SEMMI Jabar mengeluarkan lima rekomendasi strategis:
1. Mendesak Direktorat GAKKUM KLHK untuk melakukan penyelidikan awal terhadap seluruh dokumen penyusunan Perda RTRW 2024, termasuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan berita acara konsultasi publik.
2. Meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban Bupati serta DPRD Kabupaten Bandung Barat atas hilangnya standing lindung Karst Citatah dalam dokumen resmi RTRW.
3. Mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk menerbitkan rekomendasi evaluasi substansi perda dan melakukan koreksi regulasi melalui mekanisme administratif.
4. Menuntut penghentian saat ini seluruh izin pemanfaatan ruang di Kecamatan Cipatat sampai standing kawasan lindung diklarifikasi kembali.
5. Mendorong pembentukan discussion board pemantauan tata ruang berbasis masyarakat, guna meningkatkan partisipasi publik dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
“Kita sepertinya tidak dapat membiarkan ruang publik dikorbankan demi keuntungan privat. Ini bukan hanya soal tata ruang, namun soal keberlanjutan dan keadilan bagi generasi mendatang,” pungkas Septian.
Sumber: https://www.bandungbaratpos.com/karst-citatah-menghilang-dari-peta-kawasan-lindung/