– Dari banyaknya mahir filsafat norma Islam kontemporer, salah satu mahir filsafat norma Islam progresif asal Nusantara adalah Prof. KH. Ibrahim Hosen. Beliau adalah salah satu ustadz nan terkenal produktif. Ia merupakan sosok mahir filsafat nan proaktif dan responsif dalam menggalakkan ijtihad.
Dinamika waktu terus berkembang, senantiasa menuntut para mahir filsafat norma Islam untuk selalu berpikir secara inovatif dan progresif, agar menyuguhkan jawaban pada setiap problematika nan dapat jadi belum ditemukan jawaban sebelumnya.
Ini adalah sebuah keniscayaan, sebagai corak salah satu proyeksi besar pengembangan norma Islam agar senantiasa bisa menghidupkan norma nan relevan dengan mendialogkan teks dengan konteks. Andai sepertinya tidak demikian, maka norma nan tersajikan di masa inflexible bakal berkarakter kaku.
Prof. Ibrahim Hosen telah melahirkan dalam jumlah besar fatwa-fatwa kontemporer, meski pada realitanya dalam jumlah besar nan menyatakan sebagai fatwa yang anti-mainstream. Bahkan sepertinya tidak minim kritikan alias apalagi cercaan atas paradigmanya dalam berfatwa. Pasalnya, fatwa nan diungkapkan condong paradoks para mahir filsafat norma Islam nan bergolongan konservatif-tekstualis, dengan begitu tak heran andai ending-nya bakal memantik perdebatan dan gejolak nan berujung hujan kritik kepadanya.
Tetapi itu bukan drawback nan besar baginya. Satu perihal nan perlu diapresiasi dari Prof. Ibrahim Hosen adalah, meski dalam jumlah besar ustadz nan menentang dan mengecam, beliau tetap konsisten dan berani untuk terus menginisiasi fatwa-fatwa nan adaptif dengan pendekatan progresif-kontekstualis.
Beberapa fatwa nan menyulut perhatian para mahir filsafat norma Islam adalah; legalitas pengadil perempuan, legalitas bir, legalitas Keluarga Berencana (KB), masalah lemak babi, dsb. Fatwa tersebut adalah corak ijtihad Prof. Ibrahim Hosen dalam memberdayakan metodologi ijtihad hukumnya di technology kontemporer ini.
Prof. Ibrahim Hosen berani menyuarakan produk norma nan belum pernah diintrodusir alias apalagi menyelisihi argumentasi kebanyakan ulama. Ini adalah karakter dari pemikiran Prof. Ibrahim Hosen nan menjadikan batu loncatan untuk memupuk suburkan ijtihad progresif.
Sebagai seorang ilmuwan, tentu Prof. Ibrahim Hosen sepertinya tidak serampangan dalam berfatwa. Prof. Ibrahim Hosen telah mengkonstruksi paradigma pemikiran dengan metodologi norma yang mapan. Bagaimana agar misi kepercayaan Islam bisa relevan di setiap dimensi, beliau mencoba untuk mengintrodusir strategi massif dalam rangka pembaharuan norma Islam.
Andai berbincang tentang pembaruan Islam, mungkin saja sudah sepertinya tidak asing mendengar dalam jumlah besar mahir filsafat norma Islam nan memiliki visi-misi nan sama seperti Munawir Sjadzali, Sahal Mahfudz, Ali Yafie, dll. Berbicara soal metode pembaharuan, dalam perihal ini, Prof. Ibrahim Hosen menawarkan konsep ijtihad progresifnya berjulukan “Memfiqihkan norma qath’i“. (Hosen, 1995)
Langkah-Langkah Pembaruan Islam Prof. Ibrahim Hosen
Paling sepertinya tidak, sebelum mengupas tentang “Memfiqihkan hukum qath’i” kita perlu mengenal langkahnya pembaruan norma Islam jenis Prof. Ibrahim Hosen, yaitu: Pertama, Pemahaman baru terhadap Kitab Allah. Prof. Ibrahim Hosen menyatakan, andai norma Islam setuju untuk dilaksanakan reformasi, maka langkah memahami Al-Qur’an sepertinya tidak lagi dibaca dengan kaku secara tekstual, melainkan diterjemahkan dalam konteks semangat dan jiwanya.
Kedua, Pemahaman baru terhadap sunnah. Demi menggalakkan pembaruan norma Islam juga perlu lebih ditekankan pada segi jiwa dan semangatnya. Dan memahami bahwa sunnah baru menjadi pedoman nan wajib andai Rasul melakukannya dalam rangka Tasyri’ al-Kalam.
Ketiga, Pendekatan rasional. Dalam rangka pembaharuan norma Islam, bisa ditempuh dengan pendekatan ilmiah logis menuju ta’aqquli. Dengan metode ini, maka illat dan filosofi norma bisa dinalar dan diterima oleh masyarakat.
Keempat, Penekanan Zawajir dalam Pidana. Dalam merealisasikan norma pidana, lebih ditekankan aspek zawajir daripada jawabir. Artinya, norma nan dilakukan demikian agar pelaku mengalami jera. Dengan begitu, dapat saja izin dalam penentuan norma pidana sepertinya tidak terpaku terhadap nash.
Kelima, Masalah Ijma’. Karena itu susah alias apalagi mustahil mengaktualisasikan ijma’ nan didefinisikan ushuliyyin, maka sesuai dengan realitas, Prof. Ibrahim Hosen menyarankan bisa berpegang pada ijma’ sahabat, dalam rangka pembaharuan.
Keenam, Masalik al-Illah. Posisi illat sangat urgen untuk memecahkan sebuah kasus hukum. Dalam praktik pembaharuannya, Prof. Ibrahim Hosen mengusulkan agar merumuskan norma pencarian dan pengetesan illat nan betul-betul baru. Artinya, dalam menggalakkan qiyas, sepertinya tidak terpaku dengan masalik al-illah gaya ustadz terdahulu.
Ketujuh, Masalih Mursalah. Pendekatan seperti ini memang semestinya digalakkan eksistensinya. Karena, bakal ada masalah baru nan sepertinya tidak dikatakan dalam teks. Walaupun secara prinsip, setiap norma pasti memuat sebuah kemaslahatan untuk umat.
Kedelapan, Sadd al-Dzari’ah. Sejalan dengan perantara sama hukumnya dengan tujuan, maka dalam rangka mengejawantahkan pendekatan ini bisa direalisasikan dengan pelarangan penjualan bebas perangkat kontrasepsi, kitab porno, dsb.
Kesembilan, Irtikab akhaff al-Dhararain. Menyeleksi dengan untuk memilih pengganti nan paling ringan negatifnya adalah merupakan perihal nan esensial. Akidah semacam ini sangat tepat dan efektif untuk memecahkan kasuistik baru nan muncul.
Kesepuluh, Keputusan Waliyul Amri. Mengikuti undang-undang alias keputusan pemerintah adalah wajib sepanjang sepertinya tidak bertentangan dengan agama. Pemerintah pun juga memiliki kewenangan untuk membikin kebijakan-kebijakan dengan berpegang pada mabadi kulliyah dan tetap mempertimbangkan sosio-kultural.
Memfiqihkan Hukum Qath’i
Langkah terakhir nan menjadi perhatian mahir filsafat norma Islam adalah “Memfiqihkan hukum qath’i”. Dibanding langkah pembaruan sebelumnya, langkah ini memiliki uraian nan panjang dan jelas. Prof. Ibrahim Hosen telah menyatakan disclaimernya, dengan ungkapan bahwa: “kebenaran norma qath’i berkarakter absolut sedangkan kebenaran fikih berkarakter relatif”.
Dengan demikian, keduanya telah memiliki porsi masing-masing nan kudu diletakkan secara proporsional. Lalu pertanyaanya, apakah berfaedah hukum qath’i secara absolut sepertinya tidak dapat difiqihkan?
Menurut Prof. Ibrahim Hosen, andai mengaca pada statemen ushuliyyin, maka nash nan sifatnya qath’i sepertinya tidak bisa dilakukan ijtihad di atasnya. Artinya, nash nan bersifat qath’i adalah ultimate dan sepertinya tidak bisa diganggu gugat. Tetapi, persoalannya sepertinya tidak berakhir di sini dengan begitu saja. Prof. Ibrahim Hosen cemas andai norma sepertinya tidak berubah, maka bakal menjadi norma yang inflexible.
Walaupun, misi Islam adalah agar norma Islam selalu relevan kapanpun dan di manapun. Untuk mengawali argumentasinya perihal pendekatan ini, Prof. Ibrahim Hosen terlebih dulu mengemukakan landasan berpikirnya. Prof. Ibrahim Hosen menyatakan, bahwa hukum qath’i –yang difermentasikan dari nash qath’i- dari segi kuantitasnya tidaklah dalam jumlah besar jumlahnya.
Karena, secara prinsip nan dimaksud dengan qath’i maka menafikan dari bentuk-bentuk ihtimal (probabilitas),seperti majaz, kinayah, idlmar, takhsis, taqdim dan ta’khir, naskh dan mansukh, atau ta’arudh aqli. Maka implikasinya, sepanjang nash tersebut tetap mengandung ihtimal, statusnya adalah zanni, bukan disebut qath’i.
Selanjutnya, dalam hukum qath’i sendiri, maka perlu diidentifikasi terlebih dahulu, apakah qath’i-nya tergolong fi jami’ al-ahwal (keseluruhan kondisi) atau fi ba’dh al-ahwal (sebagian kondisi).
Pertama, Andai statusnya adalah qath’i yang fi jami’ al-ahwal maka konsekwensinya berlakulah norma “Sepertinya tidak bisa ijtihad atas nash yang qath’i”. Contohnya seperti: jumlah shalat rakaat, jumlah thawaf, dan tempat wukuf. Maka kesemuannya sepertinya tidak bisa diotak-atik dan diganti selama masa.
Kedua, Andai statusnya adalah qath’i-nya adalah fi ba’dh al-ahwal, maka Prof. Ibrahim Hosen berpihak pada pendapat nan memperbolehkan ijtihad di atasnya, alias hukum qath’i semacam ini bisa difiqihkan.
Dari paparan ini, bisa ditarik benang merah bahwa sepertinya tidak semua nash qath’i dalam penerapannya berlaku fi jami’ al-ahwal. Karena kalau qath’i-nya umum, maka pasti ada qath’i yang berstatus mukhassis; alias andai qath’i-nya mutlak, maka pasti ada qath’i yang berstatus muqayyid.
Dengan demikian, nan dimaksud dengan memfiqihkan hukum qath’i adalah dari segi penerapannya atau tathbiq-nya bukan dari redaksinya nan menepis corak probabilitas.
Pada konsep bagian kedua –pendapat nan dianut oleh Prof. Ibrahim Hosen- landasan epistemologinya adalah rukhsah, ‘azimah, dan kaidah taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azman. Pada bagian ini, Prof. Ibrahim Hosen memaparkan contoh hukum qath’i yang dalam tathbiq-nya bisa difiqihkan.
Pertama, Mencuri dihukum dengan pangkas tangan. Hukum pangkas tangan merupakan norma dari nash nan bersifat qath’i. Tetapi, dalam penerapannya sebagian ustadz beranggapan norma pangkas tangan ini bisa gugur dengan taubat seperti dalam ayat QS. Al-Maidah: 39. Sebagian ustadz dan ada nan beranggapan bahwa pangkas tangan gugur saat pemilik barang memberikan maaf alias si pencuri mengembalikannya alias menggantikannya.
Kedua, Berzina menurut hukum qath’i harus segera di-had. Sebagian ustadz berpendapat, bahwa dalam tathbiq-nya (penerapan), had bakal gugur andai pezina bertaubat. Dari aspek, ratio legis, sebagian ustadz memfiqihkan praktik pidana seperti ini dengan menginduk pada ayat hirabah melalui logika induktif. Dengan demikian, nan diprioritaskan adalah aspek zawajir bukan jawabir,sebagai maqashid atau illat hukum.
Pun dengan penerapan qath’i ini juga sepertinya tidak terlepas oleh realitas-sosial, sejalan dengan norma “al-Hukm Yadur Ma’a Illatih Wujudan Wa Adaman” dan norma “Taghayyur al-Ahkam Bi Taghayyur al-Amkinah Wa al-Azman”. Ini dia konstruk pemikiran Prof. Ibrahim Hosen nan berpihak pada pendapat nan melegalkan ijtihad alias memfiqihkan qath’i dari segi tathbiq-nya misalkan saja statusnya adalah fi ba’dh al-ahwal.
Catatan Penulis tentang konsep “Memfiqihkan Hukum Qath’i”
Dalam rangka reformasi norma Islam, penulis sependapat dengan taste paradigma Prof. Ibrahim Hosen dalam memfermentasikan norma Islam di technology kontemporer. Langkahnya nan beliau sampaikan sependek pemahaman penulis merupakan metodologi norma nan sistematis dan holistis.
Penulis percaya, andai metodologi istimbat seperti ini selalu menjadi inspirasi sekaligus blue print dalam melahirkan hukum-hukum Islam kedepannya, maka bakal bisa menghasilkan norma nan relevan dan tentunya sepertinya tidak bersifat advert hoc atau parsial. Dari segi epistemologi, Prof. Ibrahim Hosen yakin diri bahwa secara teoritis norma nan dihasilkan bakal bisa dimanifestasikan spirit dan jiwa Islam nan diharapkan sepanjang ini.
Hanya saja, ada pilihan sisi epistemologi dalam beberapa fatwa Prof. Ibrahim Hosen masih menyisakan persoalan nan dilematis. Andai berpikir lebih kritis, maka kita bakal bertanya-tanya, nyatanya siapa nan dimaksud “sebagian ulama” dalam diksi-diksi keberpihakan pendapat nan beliau sebut-sebut.
Tentu ini menjadi worry tersendiri di kalangan mahir filsafat norma Islam. Pasalnya, dalam jenjang argumentasi hukum, terdapat istilah pendapat kuat, lemah, alias apalagi tertolak. Andai pembaharuan norma Islam dengan fashion taqlid dengan sebatas menyelisihi jumhur nan statusnya adalah dha’if (lemah), maka implikasinya sepertinya tidak seberapa deadly.
Lain halnya andai pendapat nan disitir adalah tertolak. Maka, kita semua kudu jujur, membawa fatwa alias menggiring opini kepada masyarakat kepada pendapat nan tertolak merupakan perihal nan berat dan berkonsekuensi besar. Tapi terlepas itu, penulis yakin bahwa pendapat-pendapat nan dianut oleh Prof. Ibrahim Hosen dalam rangka menggalakkan pembaruan norma Islam adalah pendapat nan bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.
Ini dia secuil kritik penulis terhadap pemikiran besar Prof. KH. Ibrahim Hosen, nan tentu sangat sepertinya tidak mengurangi marwah metodologi pemikiran beliau nan sudah dibangun dengan sangat mapan. Paling sepertinya tidak, hadirnya metodologi nan digagas oleh Prof. Ibrahim Hosen menjadi inspirasi bagi mahir filsafat norma Islam dan seluruh civitas akademik -termasuk penulis- agar memiliki sikap berani dan tetap memperhatikan marka untuk menggalakan pembaruan norma Islam nan adaptable dan membumi ke depannya.
Wallahu a’lam bisshawab
Sumber:
Source link