New Delhi, India – Sonakshi Verma, seorang mahasiswa, berdesakan untuk memesan sepiring momo dari sebuah toko di sudut jalan pasar yang ramai di New Delhi. Toko yang ramai itu, yang hanya buka di kegelapan, dipenuhi orang-orang yang tak sabar untuk mencicipi salah satu makanan kaki lima paling populer di India.

“Ek plate veg momos, bhaiya (tolong beri saya sepiring momos vegetarian, saudara),” tutur Verma, mencoba agar suaranya terdengar di antara kerumunan.

Saat Verma mengambil piringnya, ia berjalan ke sebuah meja dan menatap penuh kerinduan pada empat pangsit lembut dan gemuk yang terletak di samping chutney dan mayones.

Dia dengan hati-hati mencelupkan satu momo ke dalam chutney cabai merah, memejamkan mata, bernapas dalam-dalam, dan menggigitnya. Lapisan luar yang lembut sobek, memberi jalan bagi isian gurih: campuran lezat bawang merah dan bawang putih yang tajam serta rasa umami yang pedas. Setelah memakan dua, dia berhenti sejenak sebelum berkata kepada saya: “Saya sedang melawan keinginan untuk makan dan pada situasi yang sama merasa terhibur dengan kehadiran mereka.”

Saya lihat ke sekeliling kerumunan yang sebagian besar adalah mahasiswa dan orang dewasa muda. Di meja lain, seorang gadis kecil kumpul bersama seorang wanita tua lihat seorang pria dan anak laki-laki menuju meja mereka dan berteriak: “Dadi momo mil gaye! (Nenek, kami punya momo!)” Tak lama kemudian, keluarga itu melahap dua piring camilan populer itu.

Momos adalah sejenis pangsit yang dikukus atau digoreng: adonan yang dibungkus berisi sayur mayur atau daging berbumbu, disajikan dengan berbagai saus, kuah, dan bumbu. Setelah hingga di India, camilan sederhana dan mengenyangkan ini telah menjadi favorit di seluruh negeri, baik sebagai makanan yang menenangkan maupun hidangan perayaan.

Penjual Momo di jalanan India
Seorang pedagang kaki lima yang sibuk di New Delhi memasak dan menyajikan momo kepada pelanggan yang menunggu (Nupur Roopa/Al Jazeera)

Momo adalah pangsit; sepertinya tidak semua pangsit adalah momo

Sepertinya tidak dalam jumlah besar yang diketahui tentang asal muasal momo yang sederhana ini. “Momo selalu menjadi bagian dari wilayah Himalaya,” jelas Kurush F Dalal, seorang arkeolog dan antropolog kuliner. “Hampir semua masyarakat yang tinggal di Himalaya bagian tengah dan atas serta Dataran Tinggi Tibet semuanya membuat pangsit yang sekarang kita sebut momo.” Tradisi pangsit membentang dari Eropa sampai Tiongkok, tambahnya.

Tetapi, ia memberikan peringatan penting ini: “Setiap momo adalah pangsit, namun setiap pangsit bukanlah momo.” Momo adalah subkelas pangsit.

Perbedaan pangsit terletak pada lapisan dan isiannya. Pangsit (terutama dim sum) memakai kombinasi tepung – seperti beras, tepung kentang, atau tepung maizena – untuk adonannya. Mengenai isiannya, pangsit telah ditingkatkan menjadi bentuk seni dengan pilihan yang tak terbatas, jelas Rushina Munshaw-Ghildiyal, seorang pakar kuliner dan konsultan makanan perusahaan. Alternatifnya, momo lebih sederhana. Adonannya terbuat dari tepung serbaguna, yang membuat momo tampak lebih buram, dan isiannya biasanya mengandung dasar jahe, bawang putih, dan bawang bombai.

Dalal menduga bahwa momo berasal dari Tibet – “momo” adalah tutur dalam bahasa Tibet. Tetapi, makanan trans-Himalaya ini juga disantap di Nepal, Bhutan, dan negara bagian Uttarakhand dan Himachal Pradesh di India. “Makanan menempuh garis yang sama seperti perdagangan. Saat pedagang bepergian, makanan mereka ikut bepergian,” tutur Dalal. Komunitas Newari di Nepal telah berdagang dengan orang Tibet sepanjang berabad-abad. Momo mereka cenderung diisi dengan daging domba dan kambing.

Momo pangsit tradisional Nepal disajikan dengan tomat chatni dan salad segar di restoran
Sepiring pangsit tradisional Nepal (momos) disajikan dengan chutney tomat dan salad segar (Getty)

Momo mengambil alih India

Dalal menjelaskan, Momos tiba di Kolkata bersama para pengungsi Tibet yang melarikan diri dari Tiongkok pada tahun 1960. Tahun sebelumnya, Dalai Lama melarikan diri ke India. Untuk saat ini, negara tersebut merupakan rumah bagi diaspora Tibet terbesar di dunia, diprediksi berjumlah 80.000 orang.

Salah satu reseller momo yang paling terkenal – Tibetan Pride, sebuah toko yang masih ada – dibuka di sebuah rumah di daerah Chowrangee, Kolkata, tutur Dalal. Bagian depan rumah, tempat keluarga pengungsi Tibet tinggal, berfungsi sebagai toko tempat orang-orang bisa membeli momo kukus, kebanyakan daging babi, yang disajikan di atas piring dan memakannya di bangku-bangku di dekatnya. Momo basi digoreng dan dijual seperti itu.

Pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, momo menjadi sangat populer di Delhi dan Kolkata. Doma Wang, yang datang ke Salt Lake, Kolkata, lebih dari 30 tahun silam, terinspirasi oleh seorang wanita tua yang menjual momo dari rumahnya, dan mulai melakukan hal yang sama pada tahun 1992 sebelum membuka Blue Poppy Eating place pada tahun 2005. Wang menjadi sangat populer dengan begitu ia dijuluki “Ratu Momo Kolkata” oleh para pelanggannya yang tergila-gila pada momo.

Pada tahun 1994, pasar terbuka di New Delhi yang disebut Delhi Haat mulai menarik para pedagang dari timur laut. Mereka menyajikan momo – pertama daging babi, kemudian ayam – dan bir buah, jelas Dalal. Pada ketika itu, dalam jumlah besar warga Nepal dan Tibet datang ke Delhi dari timur laut sebagai pelajar, pengungsi, dan migran ekonomi. Para imigran sepertinya tidak hanya menjadi pelanggan tetap toko-toko momo yang bermunculan di seluruh kota, namun pengetahuan mereka tentang teknik pembuatan momo membuat mereka menjadi tenaga kerja yang siap sedia.

Tetapi, orang India awalnya menganggap momo terlalu hambar, jelas Vipul Yadav, seorang manajer merek yang menyelenggarakan wisata kuliner di Mumbai. Ia menceritakan kisah nyata: Ketika Dolma Tsering – yang dikenal sebagai Dolma Aunty, penduduk asli Tibet – membuka salah satu kios momo pertama di Lajpat Nagar pada tahun 1994 di New Delhi, pembelinya sangat minim.

Orang-orang mengira pangsit itu mentah dan belum dimasak, tutur Yadav, jadi Dolma Aunty mulai menyajikannya dengan chutney. “Chutney, acar, dan saus yang pedas merupakan bagian tak terpisahkan dari makanan India”, termasuk makanan kaki lima, ujarnya, seraya menambahkan: “Orang-orang terus menerus mengingat hidangan itu dengan bumbu yang disajikan, yang memutuskan popularitas setiap toko kaki lima atau restoran – dan momo sepertinya tidak terkecuali.”

Momo sepertinya tidak lengkap tanpa chutney merah, Wang menjelaskan, yang disiapkan dengan merendam cabai merah kering dalam minyak dan menggilingnya dengan minim garam.

Momos dengan chutney cabai merah
Di Delhi dan Kolkata, momo terus menerus disajikan dengan chutney cabai merah dan mayones (Getty)

Membuat momo yang sempurna

Momo dijual di kereta uap, di toko-toko kecil dan restoran kecil. Sebagian besar toko ini buka di kegelapan dan menyediakan makanan sepanjang beberapa jam. Biasanya, camilan ini dimakan sambil bangun, tetapi, beberapa toko menyediakan meja dan kursi untuk orang-orang kumpul. Anda bisa menemukan berbagai macam momo di hampir setiap kota dan beberapa desa di India, dan momo hampir selalu disajikan dengan chutney dan mayones.

Secara tradisional, momo dibuat dari tepung serbaguna yang diremas dengan air dingin dan diisi dengan daging. Tetapi, sepanjang bulan Buddha Jayanti (hari lahir Buddha), orang Tibet menyantap momo vegetarian yang dibuat dengan kubis, bawang, jahe, garam, dan mungkin saja minim churpi (keju yak) sebagai isiannya, jelas Wang.

Rahasia membuat momo yang sempurna adalah kulitnya. “Kulitnya sepertinya tidak boleh terlalu tebal atau terlalu tipis,” jelas Wang. Adonan yang tipis akan hancur dan adonan yang tebal sepertinya tidak akan terasa enak. Perbandingan daging dan bawang bombay adalah kunci untuk dapatkan isian momo yang paling lezat.

Untuk memudahkan persiapan, toko-toko cenderung mengkhususkan diri pada satu atau dua jenis momo. Ada dalam jumlah besar rasa yang bisa dipilih: sayur dan non-sayur, keju, paneer, jhol (berkuah), saus, kothey (goreng), tandoori, Hakka, Afghan, Schezwan, dan dalam jumlah besar lagi.

Tetapi, isian yang paling populer adalah sayur mayur, ayam, dan daging. Beberapa pilihan yang lebih unik termasuk kentang dan keju, jamur dengan bawang, jahe bawang putih dengan cabai hijau, dan mi instan Maggi. Ada juga momo manis, termasuk yang diisi dengan potongan kue lava cokelat.

“Momo kurkure (renyah) sungguh luar biasa,” tutur Ghildiyal. Momo ini dibalut tepung jagung, dilapisi cornflake, lalu digoreng dan ditaburi chaat masala (bubuk rempah).

Penjual Momo
Di India, momo dijual di kereta uap, di toko-toko kecil dan di restoran-restoran kecil yang buka sepanjang beberapa jam di kegelapan (Nupur Roopa/Al Jazeera)

Efek Momo

Momo populer sebab sepertinya yang lezat, namun juga sebab harganya yang murah. Sepiring berisi enam momo harganya sekitar 60-90 rupee ($0,72 – $1,07), menjadikannya pilihan yang mengenyangkan dan ramah di kantong.

Tentu saja, “kepuasan taktil yang ditawarkan momo panas saat disantap di penghujung hari dapat jadi penyebab utama popularitasnya sebagai makanan kaki lima”, tutur Ghildiyal. Orang-orang menikmati gigitan pertama saat kulit luarnya berpadu dengan isian gurihnya saat chutney panasnya meledak di mulut saat kulit bawang putih dan cabai melapisi lidah.

“Pedas, asin, dan pedas, sepertinya memang dirancang untuk disukai,” imbuh Ghildiyal.

Dan momo akan tetap ada, tutur Prerna Kumar, pendiri merek teh ChaiVeda. Ia telah menghabiskan dalam jumlah besar waktu untuk meneliti tradisi dan tren makanan India. “Momo telah menjadi bagian dari makanan India seperti samosa. Rasa baru akan tercipta seiring orang-orang bereksperimen dengan cita rasa lokal.”

Seperti yang dirangkum oleh mahasiswa teknik Mumbai Anushka Puranik: “Ada momo untuk setiap musim dan setiap kondisi pikiran dan hati … (Faktor) rasa senang yang kuat tak tertandingi.”

Momo goreng
Sepiring momo goreng dan chutney (Getty)

Sumber: aljazeera.com

Artikel Referensi