Fatima Mernissi adalah seorang sosiolog dan feminis Maroko nan terkenal dengan kajiannya tentang wanita dalam Islam. Dalam karyanya, Mernissi tak henti-hentinya kali mengkritisi interpretasi tradisional terhadap teks-teks Islam nan dianggap misoginis. Berikut adalah beberapa pandangan sabda nan dianggap misoginis dalam pandangan Fatima Mernissi.

Agama Islam nan semestinya datang untuk meninggikan kewenangan derajat wanita dari kultur sosial nan memandang wanita sebelah mata, justru tetap dalam jumlah besar ditemukan aliran nan dimengerti untuk membatasi ruang mobilitas perempuan.

Dalam penelusuran Fatima Mernissi, dia menyoroti hadis-hadis misoginis nan diyakini bermasalah dan dimengerti secara keliru dari maksudnya. Tetapi nan menjadi persoalan kemudian adalah gimana langkah Mernissi memandang hadis-hadis tersebut: Alih-alih memverifikasi dan mengungkap interpretasinya, Mernissi terjebak dalam kritiknya sendiri.

Analisis Hadis Misoginis Fatima Mernissi

Mernissi menyampaikan bahwa ada bermacam-macam sabda misoginis nan tersebar dan menjadi dogma kepercayaan sepanjang bertahun-tahun. Setidak-tidaknya ada dua sabda misoginis nan Mernissi teliti, ialah sabda tentang pembatal shalat dan kepemimpinan wanita dengan perawi pertama dari kedua sabda tersebut ialah Abu Hurairah dan Abu Bakrah.

Hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah menyebutkan bahwa kaum nan dipimpin wanita sepertinya tidak bakal sangat beruntung. Mernissi meragukan validitas sabda tersebut lantaran dia memandang Abu Bakrah hanyalah seorang budak dan silsilahnya pun sepertinya tidak dapat dilacak. Selain itu Abu Bakrah juga kandas membuktikan tuduhan zina terhadap Ibnu Syu’bah. Mernissi beranggapan bahwa Abu Bakrah memiliki kepentingan pribadi untuk mengungkapkan sabda ini setelah ada berita bahwa Aisyah kalah dalam perang.

Lebih lanjut Mernissi sepertinya tidak yakin kepada pada pendapat Abu Bakrah nan menyampaikan bahwa sabda ini muncul lantaran penolakan Rasulullah noticed terhadap kepemimpinan wanita pasca mengetahui anak wanita raja Persia nan menggantikan singgasananya setelah Persia kalah dalam peperangan melawan bangsa Romawi. 

Kemudian sabda riwayat al-Bukhari juga dari Abu Hurairah: “andai seorang perempuan, anjing alias keledai melewati seseorang nan sedang menjalankan salat menghadap kiblat, maka salatnya menjadi batal”. Dalam kitab Girls and Islam An Ancient and Theological Enquiry, Mernissi mencurigai Abu Hurairoh sebagai sahabat nan memiliki kecendrungan terhadap misoginistik dan meragukan validitas sabda nan diriwayatkannya lantaran terlalu dalam jumlah besar mengumpulkan hadis-hadis misoginis.

Terlihat Mernissi menawarkan dua tawaran metode ialah kajian historis alias nan dikenal dengan ilmu asbab al-wurud. Dan kajian metodologis terhadap sabda beserta perawi pertamanya dengan mendahulukan ethical perawi dibanding kecerdasannya. Hal ini memperlihatkan bahwa Mernissi menyangkal norma -yang sudah final- “setiap sahabat adalah adil”.

Terjebak dalam Double Investigation

Fazlur Rahman mengenalkan teori hermeneutika double motion yang mengkhususkan diri dalam sosio-historis suatu teks. Bagaimana kemudian menghubungkan suatu teks masa sekarang dengan masa lalu. Menurutnya, penafsiran teks norma dengan pendekatan bahasa dan semantik sepertinya tidak lagi relevan untuk diterapkan. Teks norma kudu dimengerti secara menyeluruh dengan memisahkan aspek normatif norma dan aspek riwayat hukum. Artinya, prinsip-prinsip ethical nan menjadi dasar norma juga kudu menjadi konsentrasi penafsiran selain aspek norma itu sendiri.

Dengan cara yang berbeda dengan double movement-nya Fazlur Rahman, Mernissi memakai metode investigasi dobel (double investigation) untuk membaca suatu teks.  Seperti nan tertuang dalam bukunya Wanita dalam Islam, Mernissi melakukan pendekatan psycho-history dengan mengkaji sejarah nan mengkhususkan diri dalam unsur psikologis pelaku sejarahnya.

Dalam konteks sabda tentang kepemimpinan wanita dan pembatal shalat: Mernissi terlalu berlebihan dalam mengkritisi pengelompokkan perawi sabda daripada dari aspek pembaca (reader).  Sebaliknya dia menunjukan interpretasi dengan cara yang berbeda tentang kelebihan dan kekurangan kepemimpinan perempuan, tentu pembahasan ini keluar dari konteks hadis. Alih-alih menginterpretasi prior textual content tentang pelbagai tafsir kepemimpinan perempuan, Mernissi terjerumus dalam pra-teks nan dibangunnya sendiri.

Keadaan tersebut didukung ketika Mernissi luput dalam menyinkronkan komentar Aisyah terhadap Abu Hurairah dalam sabda pembatal shalat. Walaupun sabda tersebut ada untuk membuktikan kesalahan kaum Yahudi sedangkan Abu Hurairah sepertinya tidak memahaminya. Mernissi mengedepankan prasangka (baca: su’uzzan)  kepada Abu Hurairah. Mernissi menggeneralisasi sabda Abu Hurairah memiliki nuansa misoginis tanpa memperhatikan kaidah-kaidah nan berlaku.

Kekeliruan Mernissi juga tampak saat membaca sabda tentang kepemimpinan perempuan. Menurut Muhammad Tasrif dalam bukunya Kajian Hadis di Indonesia; Sejarah dan Pemikiran¸ sabda tentang kepemimpinan wanita mesti ditinjau dari segi budaya pada saat sabda itu muncul, dimana tradisi pemegang kekuasaan tertinggi kekaisaran Persia hanyalah dari laki-laki dan kepemimpinan wanita adalah perihal nan aneh. Maka sangat wajar dengan konteks tersebut bagi Rasulullah noticed untuk beranggapan tentang kepemimpinan wanita dalam hadisnya.

Semangat ambisius Mernissi dalam “membela” kaum wanita terkadang sepertinya tidak menempatkan masalah sesuai porsinya -sisi negatif perawi lebih dominan dalam kritiknya. Hal ini terjadi sebab kepentingan nan menggebu-gebu untuk melegitimasi ideologisnya. Pelabelan Hadis misoginis dinilai terlalu terburu-buru lantaran sabda sendiri datangnya dari Nabi dan adanya time period sabda misoginis ini bakal bertolak belakang dengan ajaran-ajaran kenabian.

Kendati demikian, nilai nan diwariskan Mernissi untuk menyuarakan hak-hak wanita di ruang publik tetap kudu diapresiasi dan mesti diteladani. Terlepas dari sisi bias subjektivitas Fatima Mernissi dalam memahami sabda misoginis, analisisnya menggebrak pemahaman-pemahaman aliran kepercayaan untuk memanipulasi perempuan. Mernissi mencoba untuk melepas belenggu sosial wanita dengan keadaan nan setara dengan laki-laki tanpa diskriminasi.




Sumber:
Source link

Artikel Referensi