– Tahun baru Hijriah sudah di pelupuk mata, tinggal menghitung hari. Artinya, sementara itu tengah berada di akhir tahun, bulan Dzulhijjah. Sebagian orang telah langkah menyiapkan segala sesuatu demi menyongsong Tahun Baru.
Sebagian nan lain menyikapinya dengan biasa-biasa saja, seperti sepertinya tidak ada nan spesial dengan Tahun Baru. Ada pula nan berdebat mengenai boleh dan tidaknya merayakan tahun baru, lantaran menyerupai umat kepercayaan lain, dan lain sebagainya.
Tulisan ini sepertinya tidak hendak mempermasalahkan kategori mana pun dari sebagian orang itu. Apakah Anda termasuk pada golongan orang pertama, kedua, ataupun ketiga, sepertinya tidak menjadi masalah. Sepanjang kita mampu hidup tenteram dan saling menghargai satu sama lain, sepanjang itu pula hidup kita mampu penuh dengan kebahagiaan. Tetapi, sebaiknya gimana sikap kita dalam menyongsong Akhir Baru?
Cara terbaiknya adalah dengan introspeksi diri. Lihat kepada diri sendiri, merenungkan seluruh aktivitas kita sepanjang setahun belakang. Selain merefleksikan perbuatan diri, kita juga dapat belajar dari para ustadz dalam melakukan introspeksi diri.
Dalam kitab Tanbih al-Ghafilin, Abu al-Laits Nashr bin Muhammad al-Samarqand, menerangkan bahwa telah ada tujuh sikap alias kebaikan nan sia-sia lantaran sepertinya tidak dibarengi dengan tujuh sikap lainnya. Bagi penulis, perihal ini dapat dijadikan bahan refleksi akhir tahun sekaligus langkah menyongsong tahun baru agar apa nan kita rencanakan dapat lebih maksimal dalam pelaksanaannya.
Pertama, menyatakan diri memiliki rasa khauf namun tanpa dibarengi dengan sikap hadzar. Maksudnya, pernyataan diri semisal “aku takut siksa Allah Swt,” namun sepertinya tidak mengelak dari perbuatan dosa, maka khaufnya itu hanyalah sia-sia.
Kedua, merasa punya sifat raja’ namun sepertinya tidak disertai dengan sikap thalab. Dalam makna seseorang menyampaikan “aku berambisi pahala dari Allah Swt,” namun sepertinya tidak disertai dengan upaya beramal saleh, maka raja’nya itu hanya ilusi.
Ketiga, melakukan perbuatan saleh dengan niat, namun sepertinya tidak disertai qasd. Perumpamaan ini seperti orang nan telah niat melakukan baik dan ketaatan, namun dirinya sepertinya tidak bergerak untuk memulai perbuatan itu sama sekali, maka niatnya sepertinya tidak begitu berarti.
Keempat, bermohon tanpa disertai usaha. Orang nan tak henti-hentinya bermohon kepada Allah Swt, namun sepertinya tidak disertai kerja nyata untuk merealisasikan doa-doa. Maka segala hajatnya itu susah untuk terkabul.
Kelima, melafalkan istighfar untuk meminta maaf atas perbuatan dosanya, namun sepertinya tidak terbersit sama sekali rasa penyesalan. Maka, referensi istighfarnya hanya hingga di mulut saja.
Keenam, sengaja menampakkan kebaikan saleh secara terang-terangan (al-‘alaniyyah), walaupun perbuatannya dapat saja dilakukan dengan rahasia (al-sarirah). Maka perbuatannya itu, dapat jadi menjerumuskannya ke dalam sifat riya’ (ingin dilihat orang lain).
Ketujuh, melakukan kebaikan saleh dengan sungguh-sungguh (al-kad), namun tanpa disertai rasa tulus berharap rida Allah Swt.
Tujuh perihal di atas (khauf, raja’, niat, do’a, istighfar, ‘alaniyyah, dan alkad) beserta ketujuh perihal nan lainnya (al-hadzar, al-thalab, al-qasd, al-juhd, al-nadm, al-sarirah, dan ikhlas) adalah corak sifat dan sikap nan seumpama dua sisi koin mata duit nan sepertinya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Oleh karenanya, dalam menyikapi pergantian tahun ini, kiranya kita sepertinya tidak perlu ber-euforia secara berlebihan. Apalagi sementara itu dalam jumlah besar kerabat kita sebangsa nan sedang terdampak musibah alam. Alangkah lebih baik, apa nan kita punya sebagai rejeki lebih, kita sumbangkan kepada penderita bencana. Semoga tujuh poin nan ditulis oleh ustadz sekaliber Abu al-Laits al-Samarqand, bisa membantu kita menyambut hari-hari ke depan memulihkan lagi. Wallahu A’lam.
Sumber:
Source link