Satu hal yang kita pahami tentang tren media sosial adalah tren itu datang dan pergi dengan sangat cepat. Meski demikian media sosial memberi kita inspirasi kreatif dan ruang untuk terhubung, upaya terus-menerus untuk tetap relevan bisa berdampak buruk pada kesehatan psychological. Di balik momen-momen singkat ini terdapat sentimen yang semakin umum: kelelahan.
Laju tren
Tren media sosial dirancang untuk bergerak cepat. Algoritme mengutamakan konten yang segar dan menarik, yang berarti pembuat konten terus-menerus berada di bawah tekanan untuk menghasilkan materi baru. Tren tari mungkin saja mendominasi TikTok sepanjang seminggu sebelum digantikan oleh kiat memasak atau meme unik. Hasilnya? Siklus konsumsi yang mustahil dimana bahkan pengguna yang paling berdedikasi pun kesulitan untuk mengimbanginya.
Dr Arvind Otta, psikolog senior dan aktivis kesehatan psychological, menyatakan bahwa pesatnya evolusi tren media sosial bisa membuat orang merasa kewalahan. “Rasa takut sepertinya tidak dapat mematuhi perkembangan mencuri kesenangan dalam memakai media sosial,” ujarnya. Dorongan untuk menyesuaikan diri dengan komunitas on-line tak henti-hentinya kali mengakibatkan kelelahan dan frustrasi. Demikian pula, Sumalatha Vasudeva, psikolog di Rumah Sakit Gleneagles BGS, Bengaluru, mencatat bahwa kebutuhan terus-menerus untuk tetap mematuhi perkembangan dikarenakan kelelahan, yang terlepas dari segalanya dikarenakan kelelahan.
Sanjina Bose, psikolog klinis di Lissun (platform terapi konseling kesehatan psychological on-line), menggambarkan hal ini sebagai “perlombaan algoritma as opposed to kehidupan nyata”.
“Orang-orang menghabiskan waktu berjam-jam untuk menelusuri malapetaka, mengisolasi diri mereka dari koneksi dunia nyata, dan mengukur harga diri melalui suka dan pengikut. Ini adalah proses yang menguras tenaga yang tak henti-hentinya kali dikarenakan kecemasan, depresi, dan sindrom penipu,” jelasnya.
Faktor FOMO
Worry of lacking out (FOMO) telah lama dikaitkan dengan media sosial, tetapi hal ini semakin meningkat seiring dengan tren yang tiada henti. Pengguna sepertinya tidak hanya ingin mendapat informasi tetapi juga merasa terdorong untuk berpartisipasi – baik dengan membuat ulang video yang sedang tren atau memposting tentang topik viral paling kekinian. Bagi sebagian orang, tekanan untuk tetap relevan bisa dikarenakan kelelahan.
Belum lama ini, web dihebohkan dengan viralnya coklat kunafa Dubai. Semua orang ingin mencicipinya. Akibat mendapatkannya adalah sebuah tantangan, orang-orang muncul dengan ide untuk membuat coklat viral versi mereka sendiri, ingin mencicipi atau meniru sesuatu yang mirip dengan coklat batangan kunafa asli dari Dubai.
Begitulah pengaruh media sosial sementara – sedemikian rupa dengan begitu merek untuk melihat sebagai peluang bisnis yang brilian dan mendapatkan manfaat dari tren ini dengan cemerlang.
Gayathri G, seorang konsultan lepas, berkata, “Ini sangat mengejutkan—suatu saat hal ini disebut-sebut sebagai keajaiban, tetapi di saat berikutnya, hal ini berpotensi menimbulkan bahaya. Ini hanyalah salah satu dari dalam jumlah besar contoh pihak yang berlawanan, masing-masing berusaha menakut-nakuti Anda. Ini menguras psychological, dan membuat saya bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa melewati semua ini tanpa merasa kewalahan.”
“Andaikan, akhir-akhir ini dalam jumlah besar perbincangan tentang manfaat minyak jarak untuk pencernaan, detoksifikasi, dan kesehatan kulit, dengan masyarakat yang bersikeras memakai minyak yang diperas dingin dan bebas heksana. Tetapi hari ini, saya menemukan sebuah peringatan bahwa minyak jarak mengandung risin, racun yang mematikan, dan menjelaskan bagaimana bijinya harus segera dimasak agar minyaknya aman,” tambahnya.
Ini sepertinya tidak hanya melelahkan, tapi juga mahal.
Setiap hari, influencer mempromosikan produk riasan, aksesori, tas, atau perhiasan baru kepada pengikutnya. Sekarang, bayangkan jutaan influencer mendesak Anda untuk membeli sesuatu yang baru, mematuhi tren, atau bahkan bepergian ke tujuan baru setiap hari. Anda tergoda, dan Anda bahkan mungkin saja menyerah pada godaan tersebut, tetapi berapa lama Anda bisa terus melakukan hal ini? Ini terlepas dari segalanya akan menguras rekening financial institution Anda secara signifikan.
Meneka Subramaniyam, seorang profesional TI, berbagi, “Saya suka membeli produk riasan baru untuk menambah koleksi saya yang dalam jumlah besar. Awalnya, hal ini mudah dilakukan ketika pilihannya terbatas, tetapi sekarang sulit untuk mengikutinya. Bayangkan mempunyai produk yang sepertinya tidak hanya berasal dari India namun juga Pilihannya terbatas, tetapi kini sulit untuk mengimbanginya. Bayangkan andai produk-produk dari India sepertinya tidak hanya berasal dari Korea Selatan, Jepang, Perancis, AS, dan Jerman, semuanya berlomba-lomba untuk dapatkan perhatian Anda menyadari apa yang dilakukannya pikiran kita.”
Kelelahan media sosial: Kekhawatiran yang semakin besar
Mengingat itu, fenomena kelelahan media sosial menjadi semakin umum.
Dr Otta menjelaskan bahwa kelelahan terwujud dalam berbagai cara – mulai dari stres dan ketidaktertarikan mencapai kebencian terhadap platform media sosial. Gejala fisik seperti sakit kepala, kelelahan, dan siklus tidur yang terganggu juga tak henti-hentinya terjadi. Secara emosional, individu mungkin saja merasa sepertinya tidak terikat, sepertinya tidak mampu, atau terlalu sadar akan kehadiran on-line mereka.
Vasudeva setuju, dengan menyatakan bahwa kelelahan tak henti-hentinya kali berasal dari keterlibatan dan perbandingan yang terus-menerus. “Orang-orang merasa lelah dan sepertinya tidak mampu, mengorbankan kesejahteraan pribadi untuk mempertahankan citra on-line yang very best,” ujarnya.
Menurut Bose, tanda-tanda burnout antara lain:
- Perbandingan diri yang konstan
- Agitasi atau tekanan emosional terkait media sosial
- Peningkatan waktu layar dan jadwal tidur yang buruk
- Perasaan terputus dari hubungan kehidupan nyata
Dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari dan harga diri
Mempunyai pengaruh pada media sosial melampaui ranah virtual, memengaruhi kegiatan sehari-hari, produktivitas, dan hubungan pribadi.
“Tekanan untuk tetap relevan bisa mengganggu kehidupan sehari-hari,” ujar Dr Otta. “Orang-orang menghabiskan dalam jumlah besar waktu on-line, dengan begitu mengikis kepercayaan diri ketika membandingkan diri mereka dengan orang lain.” Vasudeva menambahkan bahwa perbandingan terus-menerus ini menurunkan harga diri dan menciptakan keraguan diri, membuat orang merasa bahwa mereka harus segera selalu 'aktif' untuk mempertahankan kepribadian on-line mereka.
Gen Z: Generasi paling rentan?
Generasi muda, khususnya Gen Z, sangat terpengaruh oleh budaya mengejar tren.
“Bagi Gen Z, kehadiran on-line mereka terkait dengan identitas mereka,” ujar Dr Otta. “Tekanan untuk mematuhi apa yang populer berdampak pada harga diri mereka.” Bose menambahkan, “Dibesarkan di generation virtual membuat mereka lebih rentan terhadap rasa takut ketinggalan (FOMO), yang dikarenakan tekanan psychological yang signifikan.”
Tetapi, generasi Milenial sepertinya tidak dengan cara yang berbeda.
Langkah praktis untuk melepaskan diri dari kejaran tren
Para mahir sependapat bahwa memutus siklus pencarian tren memerlukan perubahan yang cermat dalam kebiasaan media sosial. Ini dia saran mereka:
Tetapkan batasan: Batasi waktu pemakaian perangkat atau jadwalkan periode tertentu untuk melihat media sosial. Aplikasi yang mengawasi penggunaan bisa membantu.
Kurasi feed Anda: Ikuti akun yang menginspirasi dan selaras dengan nilai-nilai Anda. Berhenti mematuhi hal-hal yang menimbulkan stres atau perbandingan.
Fokus pada keaslian: Posting konten yang mencerminkan minat asli Anda, bukan mengejar tren.
Terlibat dalam aktivitas offline: Temukan kembali hobi, peliharalah hubungan pribadi, dan habiskan waktu di alam menyampaikan isi hati untuk dapatkan kembali keseimbangan.
Latih perhatian penuh: Renungkan motif Anda memposting dan pertimbangkan apakah itu untuk ekspresi diri atau validasi eksternal.
Cobalah detoksifikasi bertahap: Mulailah dengan jeda singkat di media sosial dan perpanjang secara bertahap untuk memudahkan transisi.
Tanyakan pada diri Anda beberapa pertanyaan: Saat tergoda untuk melakukan pembelian impulsif setelah lihat tren yang sedang viral, berhentilah sejenak dan renungkan:
Apakah saya benar-benar membutuhkan ini?
Seberapa tak henti-hentinya saya akan menggunakannya?
Bisakah saya menggunakannya kembali dengan 3–4 cara dengan cara yang berbeda?
Andai Anda percaya bisa menjawab “ya” untuk semua pertanyaan ini, silakan beli! Kalau sepertinya tidak, yang sangat baik adalah membiarkannya berlalu.
Sumber: indiatoday