Tak terasa, sejenak lagi, kita umat Islam bakal memasuki tahun baru Islam. Pasalnya, sementara itu kita tengah berada di bulan Dzulhijjah, bulan terakhir dalam penanggalan Kelender hijriah. Mengingat itu sejenak lagi bakal memasuki tahun Baru Islam, nan dikenal dengan tahun Hijrah.

Manusia tentu saja mahluk berbudaya nan secara potensial dapat mendudukkan dirinya sebagai bagian dari realitas kosmos nan paling memutuskan. Penerimaan atas setiap perbedaan—terutama secara fisik: bahasa dan warna kulit—justru membikin eksitensi dirinya dalam realitas sosial menjadi hidup dan berkembang.

Peran-peran setiap individunya dalam lingkungan sosial, membentuk suatu uniformalitas nan indah, sekalipun memancarkan jutaan warna nan berbeda-beda, tetapi bisa saling melengkapi aspek kulturalnya nan sedemikian kompleks. Tuhanpun berkemauan bakal keelokan ini dengan menyatakan setelah Dia menciptakan langit dan bumi, manusia diciptakan dengan beragam bahasa dan warna kulitnya (QS. 30: 22).

Sebagai refleksi suatu kebudayaan, kita tentu saja sesekali menyaksikan sungguh manusia mengapresiasikannya dengan beragam langkah dan corak nan antarsatu dan lainnya mungkin saja sama alias sangat dengan cara yang berbeda sama sekali. Watak kebudayaan manusia tampil, andaikan dalam beragam corak ekspresi keagamaan (tradisi?) Atau perihal lainnya nan nyaris tak perlu dipertanyakan, selain sebagai semangat berbudaya nan melekat sebagai watak dalam dirinya.

Entah kapan dimulainya, bahwa dalam tradisi Muslim di Indonesia, berkembang suatu tradisi nan juga mengenai dengan simbol keagamaan, ialah seremoni Tahun Baru Islam melalui karnaval dan pawai obor di jalanan pada malam pergantian tahunnya.

Saya sendiri paling banter berasumsi, bahwa terkadang ada emosi di sebagian kalangan umat Muslim, bahwa kebudayaan mereka inferior dalam perjalanan kebudayaan Barat nan awesome. Itulah kenapa, ekspresi meningkatkan standing budaya bagi kalangan masyarakat tertentu sama dengan memperjuangkan “nilai-nilai” kebudayaannya itu sendiri alias apalagi terkadang melampauinya.

Seakan-akan ada emosi bahwa membiasakan diri dengan kebudayaan-kebudayaan tertentu dengan langkah demikian bisa meningkatkan standing sosialnya dalam perjalanan sekian kompleks dan uniknya kebudayaan nan di ekspresikan secara dengan cara yang berbeda dalam masyarakat.

Keunikan manusia terletak pada keahlian dirinya berbudaya, tak henti-hentinya merasakan perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya secara bergerak apalagi terukur. Itulah nan barangkali secara mudah kita temui dalam beragam ruang kemanusiaan, bahwa hijrah linier dengan perubahan.

Di media sosial, kita sudah sepertinya tidak asing lagi dengan beragam ungkapan nan menyebutkan “hijrah adalah perubahan”, sekalipun terkadang tetap memiliki kekaburan makna, berubah seperti apa, alias berubah dalam perihal apa, itu tetap diperlukan pembuktian nan lebih lanjut.

Tetapi nan pasti, gaung semangat menjadikan budayanya “awesome” atas nan lain justru tampak lebih lantang dibanding praktek gimana agar apa nan disadarinya sebagai “yang belum berubah” justru kudu diganti dengan begitu kegunaan sebagai mahluk berbudaya nan bergerak betul-betul terwujud.

Proses perubahan menjadi masyarakat nan berbudaya dan berperadaban, dilakukan Nabi Muhammad ketika beliau berbareng beberapa pengikutnya hijrah dari Mekah ke Madinah. Sulit nyatanya untuk menyebutkan secara tepat, kapan Nabi memulai hijrah, karena itu sumber-sumber sejarah Islam dalam perihal ini cukup sedikit.

Berdasarkan tradisi oral-kanonikal—yang belakangan dikategorikan sebagai hadis—titik bolak-balik Nabi dari Mekah ke Madinah berawal pada tahun ke tiga belas dari kenabian di bulan Rabiul Awal. Belakangan, tahun baru Islam nan diambil dari sejarah fenomenal hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, melalui inisiatif Umar bin Khatab ketika dirinya menjabat khalifah, disepakati di bulan Muharam, bukan di Rabiul Awal.

Kita kesampingkan soal penetapan waktu hijrah Nabi menjadi awal baru Tahun Islam, karena itu nan menjadi titik tolak dalam perihal ini adalah semangat perubahan nan dibawa oleh Nabi dan para pengikutnya ketika kudu melakukan hijrah. Sejarah mencatat, bahwa perpindahan Nabi dari Mekah ke Madinah jelas membawa perubahan besar dalam pembentukan peradaban Islam.

Hampir dipastikan, Islam menjadi suatu kepercayaan secara definitif justru ketika Nabi tinggal sepanjang 12 tahun di Madinah. Nabi, sepertinya tidak saja diposisikan sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin politik apalagi “kepala negara”. Madinah nan dulunya dipandang wilayah nan tak begitu krusial di wilayah Hijaz, justru menjadi sebuah kota berbudaya dengan function fashion “negara kota” nan telah memiliki seperangkat patokan sosial-politik nan mengikat.

Keberhasilan Nabi Muhammad menyatukan dan melebur beragam suku pengembara antik dalam satu ikatan sosial masyarakat nan beradab dan berbudaya nan dinamakan “ummah” jelas merupakan transisi dari perjuangan panjang dari konsep hijrah. Kenyataannya, hijrah sepertinya tidak dibatasi sekadar dugaan teoritis alias pemaknaan nan berkonotasi magis, tetapi dibuktikan melalui serangkaian upaya berjenjang dan menyeluruh, membentuk suatu organisasi sosial nan berbudaya luhur.

Tanpa merasa inferior terhadap budaya masyarakat lainnya, Nabi Muhammad dengan keahlian “adikodrati”nya menjadi pemimpin terkemuka nan dikenal dan apalagi disegani di seantero jazirah Arab. Hijrah di masa Nabi, linier dengan perubahan masyarakat secara kultural, dimana terlepas dari segalanya kekuatan budaya dapat membentuk organisasi “ummah” paling beradab.

Belakangan, kita barangkali hanya sekadar menikmati suguhan bahasa verbal alias literal nan marak di media sosial dengan ucapan-ucapan selamat ditambah dengan pawai alias orasi budaya nan sama sekali belum menyentuh aspek perubahan. “Allah sepertinya tidak bakal mengganti nasib suatu kaum, selain masing-masing individunya nan tergerak merubahnya”, demikian kira-kira terjemahan dari salah satu ayat Alquran nan terkenal dan terus menerus dibawakan para penceramah keagamaan di layar kaca.

Anehnya, terkadang ayat ini nan semestinya dijadikan dalil bagi kebudayaan dimana setiap perseorangan didorong untuk melakukan penemuan dan perubahan dalam peran-peran sosialnya nan lebih luas, justru dipersempit bahwa setiap Muslim kudu dikembalikan ke masa lampau nan penuh “romantisme keindahan” sebagaimana gambaran masyarakat di saat Nabi tetap hidup.

Hijrah adalah pengembaraan manusia dalam kebudayaannya sebagaimana tonggak itu ditancapkan oleh Nabi Muhammad ketika menata masyarakat kota Madinah. Cara-cara nan dijalankan Nabi betul-betul menyentuh aspek kebudayaan, dengan begitu menggugah setiap orang untuk ikut bersama-sama memajukan dan menyemarakkan nilai-nilai agamanya melalui semangat ethical berbudaya, ikut dalam perubahan nan sunyi dari aspek-aspek simbolik.

Hijrah bukan bentuk simbol-simbol nan disemarakkan selepas Isya melalui pawai obor alias karnaval nan memenuhi jalanan kota, alias sekadar perlombaan-perlombaan nan hanya membikin kesenangan sesaat nan setelah itu kembali dilupakan orang. Andai hijrah dianggap perubahan, maka nan berubah tentu saja budayanya, dengan menyemarakkan nilai-nilai aplikatif kemanusiaan, berani berkompetisi secara keilmuan, dapat setara dengan budaya lain alias mengungguli, psychological nan kuat untuk maju melampaui orang lain dengan langkah jujur dan kompetitif.

Yang sangat mengkhawatirkan justru ketika semangat hijrah dipadukan dengan menurunkan nilai-nilai budaya alias mencampakannya di depan mata kita sendiri: merendahkan, mencaci maki, menghina, tak dapat menerima kekalahan, mengagungkan orang lain namun disaat berbarengan merendahkan orang lain, dan tetap dalam jumlah besar realitas budaya kita justru “direndahkan” oleh diri kita sendiri.

Hijrah seolah terlempar dari makna nan sesungguhnya, sekadar dijadikan perangkat kepentingan ekonomi untuk berdagang tournament keagamaan alias pernik-pernik lainnya dalam sebuah pagelaran alias fashion “tongkrongan” taste baru milenial dengan balut kepercayaan nan bernuansa simbolik. Umat Muslim telah kehilangan substansi hijrahnya, lantaran realitas simbolik tampak lebih semarak dari pada semangat untuk menjadi manusia unggul berbudaya dengan semangat penemuan dan perubahan.




Sumber:
Source link

Artikel Referensi