– Salah satu “prestasi” nan sangat menonjol pada masa klasik, disamping ekspansi dan wilayah Islam juga pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan pengetahuan. Berbagai jenis pengetahuan pengetahuan terutama nan berangkaian dengan studi al-Qur’an dan Hadits berkembang dengan pesat.

Perkembangan tersebut di samping disebabkan oleh kesadaran dan komitmen muslim terhadap aliran Islam, juga lantaran aspek sosiologis nan ditandai dengan hubungan terbuka antara Islam dengan kebudayaan lokal.

Itu sebabnya, dalam pandangan Islam, sepertinya tidak ada dikotomi antara pengetahuan pengetahuan kepercayaan dan sekuler. Beberapa tokoh pada masa klasik menguasai beragam disiplin ilmu. Andaikan Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd dan Al-Razi. Ibn Sina dan Al-Razi adalah grasp nan juga ahli filsafat.

Untuk saat ini Al-Ghazali adalah ahli filsafat, fiqh dan tasawuf. Ibn Rusyd adalah ahli fiqh dan filsafat. Pembagian pengetahuan menurut fardhu ain dan fardhu kifayah, ternyata berakibat pada munculnya dikotomi pengetahuan dan kurangnya minat muslim dalam mempelajari pengetahuan aqliyah.

Bahwa, persoalan dikotomi pengetahuan merupakan salah satu drawback akut dalam Pendidikan Islam kontemporer. Ketertinggalan umat Islam atas Barat antara lain disebabkan oleh lemahnya penguasaan pengetahuan aqliyah alias intelectual sciences. Ini dia “pelajaran” sejarah nan sangat berharga.

Kita tahu, etos belajar dan pembangunan lembaga pendidikan dalam masyarakat Muslim disebabkan oleh dua faktor. Pertama, argumen normatif nan berasal pada al-Qur’an dan Hadits. Secara sangat tegas, kedua sumber aliran Islam tersebut memberikan guiding principle gimana pentingnya pengetahuan dalam Islam.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Di dalam al-Qur’an, ujar “ilm” dengan beragam derivasinya berjumlah lebih kurang dua persen dari general ayat-ayat al-Qur’an. Disamping itu, terdapat lebih dari dua ratus (sekitar 3%) ayat al-Qur’an memerintahkan secara definitif agar manusia memakai kegunaan kognitif dan afektif seperti mendengar, lihat, memperhatikan, memahami, menghayati dan sejenisnya. Penggunaan fungsi-fungsi tersebut sebaga “ulty of figuring out” merupakan lokasi untuk memulai lahirnya beragam macam pengetahuan pengetahuan, terutama ulum al-aqliyah (ilmu-ilmu rasional).

Selain al-Qur’an, dalam beberapa hadits Nabi Muhammad memerintahkan kepada setiap perseorangan muslim untuk menuntut ilmu. Salah satu hadits Nabi nan sangat masyhur adalah: “Tuntutlah pengetahuan walan hingga ke Negeri Cina.” Dalam konteks pertumbuhan dan perkembangun pengetahuan pengetahuan, al-Qur’an dan hadits memiliki dua kegunaan integratif sebagai sumber inspirasi dan objek kajian nan kemudian melahirkan pengetahuan naqliyyah alias ulum al-diniyyah (ilmu-ilmu keagamaan).

Karena nan kedua adalah pengalaman sosiologis umat Islam sebagai karena dari ekspansi dan perkembangan geografis wilayah Islam. Pada masa klasik, wilayah Islam sepertinya tidak hanya terkonsentrasi di Haramain (Makkah dan Madinah), bakal namun sudah jauh melintasi Jazirah Arabia seperti Persia, Eropa dan Afrika.

Perkembangan wilayah Islam memiliki tiga kontribusi positif nan mendorong lahirnya pengetahuan pengetahuan. Pertama, jarak geografis nan jauh dan sistem komunikasi nan terbatas sepertinya tidak memungkinkan masyarakat Muslim untuk selalu meminta fatwa dari para ustadz nan kebanyakan tetap terkonsentrasi di Makkah dan Madinah. Kondisi ini mendorong para ustadz lokal untuk melakukan ijtihad, khususnya dalam masalah-masalah nan sangat mendesak.

Kedua, terjadinya hubungan antar etnis, antar budaya dan antar agama. Terjadi hubungan intensif antara orang-orang Arab dengan orang-orang non-Arab (ajam/mawaly) nan biasanya merupakan masyarakat lokal nan memiliki perbedaan budaya dan agama.

Situasi mendorong aktivitas belajar khususnya pembelajaran al-Qur’an, Hadits, Fiqh dan bahasa Arab. Termasuk dalam kategori ini adalah pertemuan kebudayaan Arab (Islam) dengan kebudayaan Barat (khususnya Yunani), melalui aktivitas translator karya-karya intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab.

Ketiga, ekspansi wilayah juga dikarenakan munculnya kompleksitas birokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan. Cukup banyak persoalan politik dan realitas sosial nan dalam hal apa pun melahirkan pengetahuan pengetahuan. Salah satu kasus adalah munculnya bentrok politik nan serius pasca wafatnya Nabi.

Diantara bentrok tersebut adalah perbedaan tajam di kalangan sahabat tentang siapa nan berkuasa menggantikan Nabi sebagai kepala Negara. Perang Jamal antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah dan Perang Shiffin antara Ali dengan Muawiyah. Diskusi teologis nan berkembang pada masa tersebut terlepas dari segalanya menjadi awal kelahiran Ilmu Kalam.

Andai ditelaah secara historis, dinamika pembelajaran dan pertumbuhan pengetahuan pengetahuan berawal sejak masa Nabi. Halaqah al-Qur’an diselenggarakan di masjid dan rumah para sahabat, di mana Nabi membaca dan mengajarkan (tilawah) al-Qur’an kepada para sahabat. Selanjutnya, para sahabat secara reciprocal mengajarkan bacaan (qiraat) dan tradisi menghafal (hifdz) al-Qur’an.

Style pembelajaran seperti ini terus berjalan hingga masa sahabat dan menjadi tradisi utama dalam pendidikan Islam. Tradisi pembelajaran terus berjalan di beragam lembaga pendidikan dengan bagian kajian nan terus berkembang hingga puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah.

Pertumbuhan pada masa Abbasiyah 

Pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan pengetahuan pada masa Abbasiyah ditandai oleh tiga aktivitas utama yaitu, penyusunan buku-buku, perumusan ilmu-ilmu Islam dan translator manuskrip dan kitab berkata asing ke dalam bahasa Arab.

Meski demikian pada dasarnya Islam sepertinya tidak mengenal dikotomi pengetahuan pengetahuan, para ahli mengelompokkan pengetahuan ke dalam beberapa klasifikasi. Pengelompokan tersebut dilakukan, terutama untuk kepentingan ilmi (kajian) bukan untuk memperlihatkan pemisahan.

Dengan ujar lain, secara geneologis, pengetahuan pengetahuan di dalam Islam diklasifikasikan menjadi dua kelompok: naqliyyah alias transmitted sciences dan ulum aqliyah alias highbrow sciences. Ulum naqliyah adalah pengetahuan pengetahuan nan berangkaian dengan pengkajian al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan normatif (naql) dalam pengamalan Islam. Pengkajian terhadap al-Qur’an dan Hadits melahirkan dua pengetahuan pokok ialah ulum al-Qur’an dan ulum al-Hadits.

Ulum al-Qur’an adalah pengetahuan nan berangkaian dengan langkah memahami al-Qur’an. Ilmu-ilmu ini mencakup pengetahuan al-qiraat (ilmu tentang ragam pembacan al-Qur’an), ilmu al-tafsir, pengetahuan al-asbab al-nuzul, pengetahuan al-makki wa al-madani, dan ilmu al-nasikh wa al-mansukh.

Sedangkan ulum al-hadits adalah ilmu-ilmu nan berangkaian dengan hadits-hadits Nabi baik nan menyangkut otentisitas maupun validitasnya. Ilmu ini terdiri dari dua bagian pokok ialah ilmu hadits dirayat dan ilmu hadits riwayat.

Disamping ilmu-ilmu tersebut, upaya pemahaman al-Qur’an dan hadits melahirkan beragam disiplin pengetahuan baru seperti ilmu al-lughah (bahasa) dan pengetahuan sejarah. Perkembangan pengetahuan bahasa berangkaian erat dengan naskah Qur’an nan tertulis di dalam bahasa Arab. Ilmu ini menjadi sangat krusial terutama setelah dalam jumlah besar kalangan non-Arab nan memeluk Islam.

Ilmu bahasa terdiri dari dua pengetahuan pokok ialah ilmu nahwu dan sharf. Ilmu sejarah berasosiasi erat dengan studi hadits, terutama nan menyangkut riwayat hidup para perawi hadits. Ilmu sastra (balaghah) juga telah lahir sebagai bagian tak terpisahkan dari studi al-Qur’an dan tradisi kaum Arab; terutama pada masa Umayyah nan doyan dengan syair.

Pada masa klasik; lahirnya pengetahuan fiqh dan kalam

Rupanya, pada masa klasik juga terjadi pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan fiqh cukup pesat. Hal ini antara lain disebabkan oleh banyaknya persoalan hukmiyah seiring dengan perkembangan wilayah dinamika sosio-kultural masyarakat muslim.

Terdapat dalam jumlah besar problematika persoalan dan realitas sosial nan sepertinya tidak ditemukan pada generation Nabi Muhammad. Andaikan, persoalan pembagian kekayaan rampasan perang, penegakan norma Islam, pidana dan perdata dalam pemerintahan Islam. Dari sinilah awal cikal-bakal lahirnya ilmu-ilmu Fiqh.

Syahdan. Sesuai dengan pengertian lafdziyahnya, fiqh berfaedah pemahaman terhadap dalil-dalil naqliyah untuk masalah baru nan sepertinya tidak ditemukan pada masa Nabi. Dalam perihal ini, kaum muslim terbagi menjadi dua golongan ahl al-hadits yang sangat dominan dalam memakai hadits, dan ahl al-rayu nan dalam jumlah besar memakai nalar-rasional.

Disinilah lahir pengetahuan fiqh (yurisprudensi Islam) dan pengetahuan ushul al fiqh (prosedur penetapan norma Islam). Di sini juga, kadang-kadang karya-karya bagian hadits sesekali menjadi rujukan fiqh, misalkan saja Al-Muwattha’ (Imam Malik) dan Al-Musnad (Imam Hanafi).

Kajian bagian teologi juga berkembang pada masa klasik. Studi dalam bagian ini bermulai dari “ikhtilaf” di kalangan para sahabat tentang kepala negara alias pemerintahan dan “arbitrase” nan terjadi paska Perang Shiffin. Dari sinilah muncul beberapa aliran teologi pokok: Jabariyah, Murjiah, Mu’tazilah, Ahl al-sunnah wa al-Jamaah dan Syiah.

Dari sisi ukhuwah perdebatan teologis menimbulkan karena negatif dalam sejarah Islam, terutama setelah mengerti teologi didukung oleh penguasa politik. Namun, dari sisi ilmiah, perdebatan tersebut cukup positif lantaran dalam jumlah besar karya-karya bagian teologi, observasi terhadap hadits-hadits dan lahirnya ilmu-ilmu baru seperti Ilmu Logika dan Ilmu Mantiq.

Berkembangnya Ilmu Akhlak (Tasawwuf)

Ilmu lain nan rupanya juga berkembang adalah Ilmu Akhlaq alias Tasawwuf. Ilmu ini muncul sebagai reaksi dari kaum Sufi atas perilaku para filosof dan mutakallimin nan suka berdebat dalam wilayah ke-Tuhanan. Karena lainnya adalah kehidupan para penguasa nan sarat dengan kemewahan dan gemerlap harta.

Disamping ilmu-ilmu naqliyah alias diniyyah tersebut muncul pula ilmu-ilmu aqliyah. Sebagian ilmu-ilmu aqliyah lahir lantaran kontak kaum muslimin dengan kebudayaan Barat (Romawi dan Yunani), terutama melalui proyek translator nan digalakkan pada masa Abbasiyah.

Sebagian lainnya muncul sebagai perpaduan antara pengaruh Yunani-Romawi dan peng Ilmu Fiqh. Andaikan, Aritmatika nan sangat dibutuhkan dalam faraid (warisan) dan Astronomi untuk penentuan arah kiblat dan falaq.

Meski demikian lahir setelah proses penerjemahan, ilmu-ilmu aqliyah nan berkembang pada masa klasik sepertinya tidak merupakan jiplakan dari pengetahuan serupa nan berkembang di Barat. Ciri nan paling menonjol dalam pengetahuan ini adalah perpaduan alias penyempurnaan dari ilmu-ilmu nan telah ada dan sebagian merupakan pengetahuan nan in reality Islamic.

Ilmu pengetahuan tersebut antara lain Filsafat Kedokteran (al-Thib) dan Matematika (riyadhiyat). Dari beberapa pengetahuan tersebut berkembang ilmu-ilmu baru seperti farmasi (shaidaliyyah), kimia dan tumbuh tumbuhan (nabat) nan merupakan pengembangan dari pengetahuan Kedokteran Matematika berkembang menjadi pengetahuan baru seperti Aljabar dan Aritmatika penunjang.

Sebab perkembangan sosiologis, ilmu-ilmu nan sebelumnya termasuk dalam pengetahuan naqliyyah berkembang menjadi disiplin pengetahuan tersendiri. Diantara pengetahuan tersebut adalah Sejarah. Kajian sejarah sepertinya tidak hanya berkait dengan para perawi hadits, namun juga kajian tokoh dan masyarakat terutama berangkaian dengan pemerintahan Daulah Umayyah dan Abbasiyah.

Dengan demikian, tak keliru andai disebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan pengetahuan pada masa klasik sepertinya tidak bisa dipisahkan dari eksistensi al-Qur’an dan Hadits sebagai referensi induk aliran Islam. Selain itu, dinamika sosiologis umat Islam nan sangat pesat sebagai hasil hubungan antara budaya Arab (Islam) dengan budaya dan masyarakat baru, juga melahirkan disiplin pengetahuan baru, terutama ilmu-ilmu aqliyah. Wallahu a’lam bishawab.

*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.




Sumber:
Source link

Artikel Referensi