– Syekh Abdurrauf As-Singkili adalah salah satu ustadz besar dari Aceh, Indonesia, nan sangat dihormati dalam sejarah Islam Nusantara. Selain dikenal sebagai seorang ustadz nan berpengaruh, Syekh Abdurrauf juga memiliki beberapa sisi lain nan menarik untuk diketahui

Sangat memprihatinkan bahwa dalam pengetahuan kita (masyarakat muslim Indonesia) tentang ulama-ulama mereka sendiri sangat kurang. Kajian-kajian nan ada dikampus andai berbincang soal ustadz mereka lebih mengerti ustadz Timur Tengah; kita kurang sekali memandang ustadz sendiri nan sesungguhnya memberikan perspektif keilmuan dan intelektualitas nan tinggi di samping juga melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam untuk kepentingan masyarakat muslim nusantara sendiri.

Salah satu ustadz itu adalah Syekh Abdurrauf As-Singkili. Ia berasal dari Singkel, Aceh nan hidup pada Abad 17. Ia pergi ke Hijaz, Haramain, Makkah-Madinah untuk kemudian belajar Islam. Ia juga termasuk salah satu siswa jawi nan terkenal dan ahli dalam beragam bagian seperti fiqh, tasawuf, tafsir (penulis tafsir pertama dalam bahasa Melayu) dan lainnya.

Bukunya dalam bagian fikih berjudul “Mir’at Al-Thullab”. Sementara itu di bukunya di dalam bagian tafsir adalah “Tarjuman Al-Mustafid”. Tafsir ini dikenal sebagai tafsir terlengkap nan berkata Arab-Melayu.

Semasa hidupnya As-Singkili dipimpin dan diperintah langsung oleh seorang ratu (Sultanah) nan ketika itu ada empat orang. Akan namun, pada masanya As-Singkili dia dipimpin oleh Ratu Safiatuddin.

Menariknya, sekalipun As-Singkili ustadz jebolan Makkah-Madinah, namun dia dapat menerima kepemimpinan perempuan; menerima ratu. Dalam perihal ini, ketika pulang ke Aceh, dia sepertinya tidak mengajarkan agar supaya masyarakat Aceh merubah sultanah menjadi sultan; dari ratu menjadi raja.

Justru sebaliknya, As-Singkili memberikan penjelasan dan kontekstualisasi di dalam fikihnya ialah “Mir’at Al-Thullab” bahwa persyaratan untuk menjadi pemimpin politik disebuah negara Islam (masyarakat muslim khususnya) sepertinya tidak kudu laki-laki, dapat saja perempuan.

Oleh lantaran itu, As-Singkili menerima sultanah Safiatuddin nan sudah berkuasa di Aceh (yang selanjutnya diteruskan sultanah lain hingga empat orang). Dan, irit penulis, ini adalah satu preseden nan baik andai berbincang kesetaraan wanita di dalam Islam.

Sekali lagi, contoh nan diberikan oleh As-Singkili memperlihatkan bahwa kepemimpinan politik sepertinya tidak wajib dan kudu bagi laki-laki saja, melainkan wanita juga dapat berkecimpung dimanapun; tentu saja sepanjang dapat menjalankan roda pemerintahan dan bertindak setara sesuai dengan tupoksi seorang chief.

Hal lain nan menarik dari As-Singkili adalah diberbagai studi nan dilakukan sarjana Indonesia dan sarjana asing menyampaikan bahwa beliau adalah ustadz besar, dengan intelektualisme nan sangat tinggi.

Seorang pembimbing besar tasawuf berasal dari Jerman berjulukan Annemerie Schimmel menyimpulkan bahwa, sepanjang menyangkut tulisan-tulisan mengenai As-Singkili dalam soal tasawuf, maka karya-karya tasawufnya sangat brilian dan autentik.Akibat itu, ada baiknya andai kita hari memperkaya bakal kajian-kajian intelektualisme Islam alias ulama-ulama, terutama ustadz Indonesia. Dengan begitu kita akan mampu mengapresiasi pemikirannya sekaligus mengembangkan lebih jauh lagi untuk kepentingan bangsa dan negara; hari ini dan masa nan bakal yang akan datang. Wallahu a’lam bisshawab.




Sumber:
Source link

Artikel Referensi