Selain kaya budaya, Indonesia juga kaya akan kuliner khas berbagai daerahnya. Sebut saja menu soto. Di pulau Jawa saja terdapat beberapa macam soto, antara lain soto betawi, soto madura, soto kudus, soto matang, soto lamongan, dan lain-lain. Sedangkan di Pulau Kalimantan, juga terdapat soto yang dikenal dengan sebutan soto banjar, kuliner khas suku Banjar di Kalimantan Selatan.
Mengutip Mencicipi Soto Banjar, Membayangkan Sejarah yang ditulis oleh Mursalin pada Kandil: Majalah Kebudayaan | Empat Bulanan, Edisi Juli 2021, soto berasal dari ujar cao do atau jao to atau chau tu dalam bahasa Tiongkok, seperti yang dituliskan oleh Dennys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya. Dengan begitu bisa dipastikan bahwa kuliner yang satu ini erat kaitannya dengan budaya negeri tirai bambu. Cao do atau jao to atau chau tu dalam dialek Hokkian itu juga bermakna jeroan sapi atau babi yang dimasak dengan rempah-rempah.
Soto berasal dari ujar cao do atau jao to atau chau tu dalam bahasa Tiongkok (dialek Hokkian), yang bermakna jeroan sapi atau babi yang dimasak dengan rempah-rempah.
Selain itu, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa ujar soto berasal dari ujar shao du atau sao tu yang berarti memasak jeroan. Pendapat lain menyampaikan bahwa zhu du (memasak jeroan babi) adalah akar ujar soto. Pengaruh budaya Tionghoa yang memakai jeroan, seperti hati, paru, usus ataupun ampela sebagai bahan baku utama, minim cukup banyak memiliki pengaruh pada resep soto banjar.
Jao to sendiri adalah makanan berkuah kaldu dari jeroan yang dicampur dengan berbagai rempah. Dalam penyajiannya, jao to biasa dihidangkan dengan sohun, mi ataupun bihun, serta bawang goreng. Mirip dengan masakan Kanton yang kerap memakai jahe, bawang putih, gula, kecap, daun bawang, cuka, serta jeroan babi ataupun sapi. Hal ini dimungkinkan akibat adanya para pedagang dari Tiongkok yang berniaga ke berbagai belahan dunia, termasuk berniaga secara masif ke wilayah Nusantara pada abad XV-XVIII, padahal kedatangan pedagang-pedagang tersebut sudah berawal sejak abad IV. Tak hanya untuk berdagang, para pendatang juga membawa masuk kebudayaannya pada sektor kuliner. Besar kemungkinannya, para pedagang itulah yang mengumumkan jao to ke penduduk lokal di tempat mereka singgah saat tengah menempuh bolak-balik perniagaan komoditas rempah-rempah.
Akulturasi budaya dengan penduduk setempat dimungkinkan terjadi, salah satunya, melalui pembauran dan pernikahan dengan penduduk lokal dan Tionghoa yang kemudian menghadirkan kaum Tionghoa peranakan. Kaum peranakan ini dia yang kemudian mewarisi cara masak dan resep kuliner Tionghoa, salah satunya jao to.
Dalam perkembangannya, resep jao to ini disesuaikan dengan selera lokal serta bumbu-bumbu lainnya yang juga dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab dan India. Sepertinya tidak hanya dalam hal cita rasa, penyebutan ujar jao to juga merasakan penyesuaian menjadi soto. Dengan begitu kita kini mengenal berbagai jenis soto yang biasanya dinamakan sesuai nama daerahnya, soto banjar misalkan saja.
Soto banjar sendiri diprediksi ada sejak setelah tahun 1563, yaitu ketika para pedagang-pedagang Tiongkok cukup banyak berdatangan ke Banjarmasin, yang pada akhir abad XVI itu dikenal sebagai daerah kerajaan penghasil lada. Dengan begitu menjadi indikasi bahwa kuliner jao to masuk ke Banjarmasin pada masa tersebut. Akan namun, jao to di Banjarmasin lambat laun juga merasakan penyesuaian. Misalnya pada penggunaan susu di dalam kuahnya yang merupakan pengaruh Belanda. Karena itu di Banjarmasin juga terdapat pedagang-pedagang Belanda yang menyajikan sup dan frikadeller atau yang lebih dikenal dengan sebutan perkedel, yang awalnya diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Belanda dan memakai susu dalam pengolahannya.
Soto banjar sendiri diprediksi ada sejak setelah tahun 1563.
Soto banjar adalah kuliner berkuah kaldu ayam kampung dengan sohun dan bumbu yang terdiri dari rempah cengkih, adas, kayu manis, bunga lawang, dan lada. Untuk asupan karbohidrat, soto banjar biasa disajikan dengan lontong atau ketupat isian telur rebus. Lebih nikmat andai dimakan bersama perkedel serta sate ayam atau telur asin. Penasaran dengan kelezatan soto dari Kota Seribu Sungai ini? Inilah resepnya!
Soto Banjar
Bahan:
- 1 ekor (± 800 gr) ayam kampung, potong 4 bagian
- 2 lt air
- 4 lembar daun jeruk
- 2 batang serai, memarkan
- 1 cm lengkuas, memarkan
- 4 cm kayu manis
- 1 butir biji pala
- 6 butir cengkih
- 3 butir kapulaga
- 2 sdm minyak goreng
Bumbu, haluskan:
- 12 butir bawang merah
- 6 siung bawang putih
- 10 butir merica
- 1 cm jahe
- 2 cm kunyit
- 1 sdt garam
- ½ sdt gula pasir
Perkedel Talas:
- 300 gr talas pontianak, kupas
- 2 siung bawang putih, haluskan, tumis
- Minyak goreng
- 2 sdm bawang goreng
- ½ sdt garam
- ¼ sdt merica bubuk
- 1 butir telur, kocok
Pelengkap:
- 30 gr sohun, rendam air panas, tiriskan
- 2 butir telur rebus, kupas, belah 2
- Bawang goreng
- 2 batang seledri, cincang
- Sambal cabai
- Jeruk nipis
Cara membuat:
- Rebus ayam di dalam air bersama daun jeruk, serai, dan lengkuas. Tambahkan kayu manis, pala, cengkih, dan kapulaga.
- Panaskan minyak goreng dalam wajan, tumis bumbu halus mencapai harum, angkat. Masukkan bumbu tumis ke dalam panci kaldu, masak mencapai mendidih. Kecilkan apinya, masak terus mencapai ayam empuk dan bumbu harum, angkat.
- Keluarkan ayam dari panci, ukur kaldu sebanyak ± 1.5 lt, saring kaldu. Suwir-suwir daging ayam, masukkan kembali ke dalam panci kaldu.
- Perkedel talas: Kukus talas mencapai matang, angkat. Lumatkan mencapai halus. Masukkan bawang putih ke dalam talas halus, aduk, tambahkan bawang goreng, garam, merica, dan telur kocok, aduk rata. Bentuk bulat pipih diameter ± 4 cm. Goreng mencapai kecokelatan, angkat, tiriskan.
- Penyajian: Taruh sohun ke dalam mangkuk, tuangi kaldu panas beserta ayam suwir. Tambahkan telur rebus, bawang goreng, dan seledri cincang. Hidangkan bersama perkedel talas, sambal cabai, dan jeruk nipis.
Sajikan selagi hangat dan manjakan lidah dengan sensasi kuliner hasil akulturasi lima budaya ini bersama keluarga. Selamat mencoba resepnya.
Sumber: indonesiakaya