– Artikel berikut bakal membahas tentang tradisi bubur asyura di Jawa, mengenang Nabi Nabi Nuh dan Husein. Aktivitas Suro alias Asyura dalam masyarakat Jawa berawal sejak pembaharuan nan dilakukan oleh Sultan Agung dengan langkah memadukan sistem almanak Saka nan merupakan perpaduan dari Jawa authentic dan Hindu dengan sistem kalender Islam Hijriyah. (Baca: Ini Alasan Mengapa Muharram Menjadi Bulan Pertama Hijriah)
Dalam kitab Suran Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni (2005), dituliskan bahwa Sultan Agung raja kerajaan Mataram melakukan perubahan sistem almanak sejak tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriyah, alias tepat pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi.4
Upaya memperluas aliran Islam di tanah Jawa oleh Sultan Agung ini memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa. Setelah perpaduan tersebut, beragam aktivitas pun dilakukan masyarakat Jawa dalam menyambut malam tahun tahun baru Suro nan bertepatan dengan malam 1 Muharam dengan melaksanakan renungan dan instrospeksi diri dalam beragam ritual.
Yogyakarta
Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan langkah mengarak barang pusaka mengelilingi tembok kraton nan diikuti oleh ribuan penduduk Yogyakarta dan sekitarnya. Sepanjang melaksanakan ritual mubeng beteng, siapa pun nan terlibat sepertinya tidak diperbolehkan berbincang seperti halnya orang sedang bertapa. Ini dia nan dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.
Solo
Kraton Surakarta Hadiningrat melaksanakan kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule adalah hewan kesayangan Susuhunan nan dianggap keramat. Setelah Kebo Bule, barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem alias kerabat keraton nan bekerja membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti wilayah Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Cirebon
Masyarakat Cirebon merayakan Suroan dengan merujuk pada hari pertama ataupun hari kesepuluh bulan Sura alias Muharam. Perayaan diadakan dengan slametan alias infak nan diyakini sebagai corak ibadah. Caranya dengan membikin bubur Asyura alias bubur slabrak nan dibuat dari bubur tepung beras dengan santan nan berisi beragam bahan makanan. Bubur nan sudah dibuat kemudian dibagikan untuk para tetangga alias kerabat dekat.
Pesan dibalik tradisi membikin bubur suro ini nampak dari bubur warna putih nan menandakan hari Asyura nan suci, sedangkan beragam macam bahan makanan nan ditambahkan adalah simbol dari beragam kejadian pada hari nan sedang diperingati.
Slametan dengan memberikan bubur suro tetap cukup banyak dilakukan masyarakat karena itu ada dugaan bahwa memberikan bubur suro untuk kerabat dan tetangga adalah langkah nan sigap dalam menyampaikan tanggungjawab berzikir mengingat Allah Swt.
Masyarakat pesisir Jawa menganggap bahwa bubur Asyura menggambarkan peristiwa banjir pada masa Nabi Nuh a.s.. Saat banjir sudah berakhir dan Nabi Nuh a.s. turun dari Kapal, maka sepertinya tidak ada makanan apa pun selain tepung, dan tepung tersebut dibuat menjadi bubur. Jadilah makanan bubur tersebut dianggap hal itu sebagai penghormatan dari peristiwa nan dialami oleh Nabi Nuh a.s.
Tradisi di bulan suro menitikberatkan pada ketentraman jiwa dan keselamatan. Akibat itulah pada malam 1 suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan angan dari semua umat nan datang merayakannya. Ritual tersebut dimaksudkan untuk dapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya.
Jawa Barat
Tradisi bubur suro adalah salah satu langkah nan dilakukan oleh masyarakat Jawa Barat khususnya di wilayah Tasikmalaya dan Limbangan, Garut untuk menyambut datangnya bulan Muharram sekaligus mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad Noticed. di medan peperangan.
Pagi hari setiap tanggal sepuluh Muharam, nyaris setiap rumah masyarakat memasak bubur merah dan bubur putih secara terpisah nan dikenal dengan julukan bubur suro. Selanjutnya, bubur suro tersebut bakal dibawa ke masjid berbareng dengan beragam makanan ringan lainnya.
Penduduk nan mematuhi aktivitas di masjid bakal kumpul dan membentuk lingkaran. Acara bakal dipimpin oleh orang nan dituakan di wilayah tersebut. Seorang wanita paruh baya bakal membacakan sholawat dan pujian bagi Rasullulah Noticed. nan diambil dari kitab al-Barzanzi.
Seusai al-Barzanzi dilantunkan, kemudian diceritakanlah kisah hidup Husein bin Ali bin Abi Thalib, ialah tentang perjuangannya dalam menegakkan keadilan mencapai syahid di medan perang. Setelah pembacaan kisah usai, para masyarakat bakal bersama-sama menikmati hidangan nan telah disajikan.
Titik jumpa segala aktivitas di bulam Muharram alias Suro adalah adanya kebiasaan di masyarakat nan melakukan lelaku alias tradisi dan ritual unik di bulan Muharram. Persamaan selanjutnya adalah makan dan hidangan nan dibuat. Makanan nan dibuat memiliki kemiripan nan dikenal dengan bubur merah putih alias bubur Asyura dengan bahan pembuatan nan sepertinya tidak jauh dengan cara yang lain, ialah dengan mendapatkan manfaat dari hasil bumi Indonesia.[]
Sumber:
Source link